Meski Landai, Ada Kabar Kurang Baik (Lagi) dari Covid di RI
Jakarta, CNBC Indonesia- Meskipun kasus Covid-19 di Indonesia telah melandai dalam 2 pekan terakhir, namun tingkat kematian di tanah air terpantau masih cukup tinggi.
Alhasil dengan akumulasi jumlah pasien meninggal sebanyak 132.491 orang pada Senin (30/8/2021), di Indonesia naik peringkat ke 7 dalam kasus kematian Covid-19 terbesar di dunia.
Berdasarkan data Worldometer, Indonesia melewati Inggris yang tercatat memiliki 132.485 kasus kematian. Padahal baru saja Indonesia naik ke peringkat 8 kasus kematian tertinggi pada pekan lalu, setelah melampaui Italia.
Penyebabnya kenaikan peringkat kematian ini adalah dalam sepekan terakhir Indonesia masih mencatat ada 5.551 pasien meninggal. Sementara Inggris hanya 797 pasien meninggal, dan Italia 342 pasien meninggal.
Dengan total 4,079 juta akumulasi kasus positif, fatality rate Covid-19 di Indonesia mencapai 3,24%. Rasio ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia di angka 2,2%. Dalam akumulasi kasus positif, RI berada di urutan ke 13 terbesar dunia.
Lebih rinci, kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi terjadi di Jawa Tengah dengan 28.282 kasus, Jawa Timur 28.039 kasus, Jawa Barat 13.441 kasus, DKI Jakarta 13.280 kasus, dan Kalimantan Timur 5.063 kasus.
Sementara itu, Epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengatakan, potensi resiko infeksi Covid-19 masih tinggi di tanah air. Ini karena pandemi belum berakhir di tanah air.
"Bukannya rendah risiko tetapi sangat tinggi karena seringkali dalam penurunan pengetatan [protokol kesehatan] masyarakat lupa padahal kita harus meningkatkan kewaspadaan," kata Pandu dalam program Evening Up CNBC Indonesia, Senin (30/8/2021).
Covid-19 Varian Delta juga menjadi fokus sebab saat testing berkurang dan protokol kesehatan tidak dipatuhi, membuat kasus melonjak kembali. Pandu mengingatkan untuk menjaga momen saat ini agar tetap stabil.
Sebab jika ada lonjakan dapat membuat mobilitas kembali diketatkan dan akan merugikan semua pihak termasuk pelaku ekonomi.
"Dikhawatirkan ada lonjakan lagi ada pengetatan sangat merugikan termasuk pelaku ekonomi," ujar Pandu.
(dob/dob)