Kenapa DKI Bisa Terancam Tsunami Hebat? Ini Penjelasan BMKG
Jakarta, CNBC Indonesia - Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengapresiasi setiap hasil riset potensi bencana dengan skenario terburuk untuk tujuan membangun kesiapsiagaan masyarakat.
Hal itu dikatakannya terkait dengan pesisir Selatan Pulau Jawa dan sekitarnya terancam oleh potensi tsunami besar yang diperkirakan bakal berimbas ke wilayah pesisir utara seperti ibu kota RI, DKI Jakarta.
Daryono menambahkan, riset semacam itu diperlukan sebagai acuan langkah mitigasi tsunami.
"Untuk itu, kepada masyarakat diimbau agar tidak panik, karena kajian ini dibuat bukan untuk membuat masyarakat resah, tetapi untuk menyiapkan strategi mitigasi yang tepat dan efektif guna mengurangi risiko bencana yang mungkin terjadi," ujarnya kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu, dikutip Minggu ini (22/8).
Dia mengatakan, tsunami yang pernah melanda pantai Jakarta akibat erupsi katastropik Gunung Krakatau di Selat Sunda terjadi pada 27 Agustus 1883.
Tsunami di Selat Sunda dapat dipicu oleh erupsi gunung api dan gempa tektonik yang bersumber di zona megathrust dan menjangkau Pantai Jakarta karena tinggi tsunami di sumbernya lebih dari 30 meter. Sementara tsunami pada 2018 lebih kecil, sehingga tidak sampai Jakarta.
Dia juga mengungkapkan, mengetahui apakah tsunami akibat gempa megathrust Selat Sunda dapat mencapai Jakarta, maka menurutnya diperlukan pemodelan tsunami.
Pemodelan tsunami Selat Sunda akibat gempa magnitudo 8,7 yang dilakukan BMKG menujukan bahwa tsunami dapat menjangkau Pantai Jakarta.
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa, dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara - Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol - Tanjung Priok.
"Pemodelan tsunami diukur dari muka air laut rata-rata (mean sea level). Dalam kasus terburuk, jika tsunami terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah. Selain itu, ketinggian tsunami juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan (subsiden)," jelasnya.
Meski ada pemodelan, namun itu tidak pasti karena persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit gempa yang digunakan. Perbedaan data yang digunakan juga mempengaruhi hasilnya.
Sebab itu, Daryono mengatakan, jika sumber tsunaminya digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya maka selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami.
"Dalam mendukung upaya mitigasi konkret, BMKG menyusun peta bahaya tsunami di seluruh pantai rawan tsunami di Indonesia. Untuk Pulau Jawa, peta bahaya tsunami yang sudah dibuat sebanyak 41 peta, dengan rincian: 5 peta di Banten, 5 peta di Jawa Barat, 17 peta di Jawa Tengah, 3 peta di Yogyakarta, dan 11 peta di Jawa Timur. Pembuatan peta bahaya tsunami ini masih terus berjalan untuk wilayah lain di Indonesia," jelasnya.
Adapun peta bahaya tsunami memberi informasi tinggi tsunami, jauhnya jangkauan, dan waktu tiba tsunami di pantai. Peta ini bermanfaat untuk perencanaan tata ruang pantai yang aman tsunami, acuan membuat jalur evakuasi, menentukan lokasi titik kumpul, lokasi tempat evakuasi sementara, serta acuan dalam berlatih evakuasi.
"BMKG pun membuat skenario model terburuk untuk acuan mitigasi tsunami bagi pemerintah daerah, masyarakat, dan relawan kebencanaan," pungkasnya.
(tas/tas)