Catat! Jubir Luhut Bantah Data Kematian Akibat Covid Dihapus

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
11 August 2021 20:00
Juru Bicara Menko bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi Saat Keterangan Pers Update PPKM Darurat, Jakarta, 4 Juli 2021. (Tangkapan Layar Youtube @BNPB Indonesia)
Foto: Jodi Mahardi (Tangkapan Layar Youtube @BNPB Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Juru Bicara Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi, menjelaskan perihal tak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Dikeluarkannya indikator tersebut lantaran adanya input data yang belum diperbarui dan merupakan angka kematian dari akumulasi selama beberapa pekan sebelumnya.

"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," kata Jodi dalam pernyataan resminya pada, Rabu (11/8/2021).

Pemerintah, lanjut Jodi, menemukan banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk, atau dicicil pelaporannya sehingga dilaporkan terlambat.

"Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ujarnya.



Data yang bias ini, menurut Jodi, menyebabkan penilaian yang kurang akurat terhadap level PPKM di suatu daerah.

Jodi menambahkan, data yang kurang update tersebut juga terjadi karena banyak kasus aktif yang tidak ter-update selama lebih dari 21 hari.

"Banyak kasus sembuh dan angka kematian akhirnya yang belum ter-update," katanya.

Untuk mengatasi hal ini, Jodi menegaskan bahwa pemerintah terus mengambil langkah-langkah perbaikan untuk memastikan data yang akurat.

"Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan dimasukkan indikator kematian ini jika data sudah rapi," ujarnya.

Sembari menunggu proses tersebut, untuk sementara pemerintah masih menggunakan lima indikator lain untuk asesmen, yakni seperti BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat.



Sebelumnya, keputusan pemerintah menghapus sementara data kematian itu menuai kritik dari sejumlah kalangan. Salah satunya dari Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama. Menurut dia, kematian merupakan indikator utama dalam mengevaluasi sebuah kasus, salah satunya yang disebabkan oleh wabah.

"Untuk berbagai penyakit di dunia, maka data kematian merupakan indikator epidemiologi utama," ujarnya.

Tjandra mencontohkan, pada waktu kasus Covid-19 di India sedang melesat, jumlah kematian paling tinggi sekitar 5.000 per hari. Penduduk India sebanyak empat kali lebih banyak dari Indonesia. Jadi, misalkan jumlah kematian pada 10 Agustus sebanyak 2.000 orang, maka kalau dikali empat, angka menjadi 8.000 orang.

Kemudian pada waktu awal PPKM Darurat tanggal 3 Juli, jumlah yang meninggal sehari adalah 491 orang, jadi angka 10 Agustus adalah empat kali angka hari pertama awal PPKM darurat.

"Indikator angka kematian per 100 ribu penduduk per minggu merupakan salah satu variabel dalam penentuan level 4, 3, dan seterusnya yang sekarang dipakai, sesuai SK (Surat Keputusan) Menkes," jelas Tjandra.

"Jadi, indikator angka kematian memang diperlukan dalam penilaian situasi epidemiologi. Kalau data yang tersedia dianggap tidak baik maka datanya yang harus diperbaiki," kata Tjandra melanjutkan.

Hal senada juga disampaikan oleh Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman. Dicky mengungkapkan, data kematian adalah ukuran vital kesehatan suatu populasi, memberikan informasi pola penyakit yang menyebabkan kematian, dari waktu ke waktu.

Pola kematian menjelaskan perbedaan dan perubahan status kesehatan, mengevaluasi strategi kesehatan, memandu perencanaan dan pembuatan kebijakan.

"Respons pandemi ditunjukan antara lain untuk mengurangi kematian. Karena itulah memahami beberapa banyak kematian yang terjadi sangat penting," jelas Dicky.

Data kematian sebagai tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan intervensi yang dilakukan.

"Kapasitas pelaporan kematian yang terbatas harus diperbaiki," ujarnya.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Disebut-sebut dalam Pandora Papers, Apa Reaksi Luhut?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular