Sri Mulyani, Ancaman Seram, dan Dana Rp 3.700 T

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
06 August 2021 07:35
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021.  (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021. (Tangkapan Layar Youtube PerekonomianRI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta semua pihak tidak menganggap remeh isu perubahan iklim. Persoalan ini nyata dan bahkan sudah mulai terasa di berbagai belahan dunia.

"Sebelum 2045 kita akan menghadapi 2030 climate change yang menghasilkan Paris Agreement, semua negara melakukan komitmen untuk mengurangi CO2 karena dunia ini sudah menghangat," ungkap Sri Mulyani dalam webinar, Rabu (4/8/2021).

"Banjir yang tidak pernah terjadi, terjadi. Di Jerman sampai terjadi banyak sekali korban. Kebakaran hutan, kekeringan, ada juga turunnya es atau salju di berbagai daerah yang belum menghadapi ini jadi climate change is real karena dunia sudah menghangat di atas 1%. Kita menghindari untuk menghangat," tegasnya.

Masing-masing negara memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengantisipasi perubahan iklim, termasuk Indonesia. Hanya saja, sebagai negara berkembang, Indonesia tetap harus mendorong perekonomian demi mengubah nasib kemiskinan yang masih tinggi.

"Kita memperjuangkan hak negara emerging untuk memperbaiki kemakmuran tanpa terbebani tidak adil. Take and give jadi penting. Komitmen climate change tanpa pendanaan tidak akan bisa dijalankan. Kita akan terus mengakselerasi untuk climate change maupun dalam forum global yang lain," papar Sri Mulyani.

Kebutuhan Indonesia untuk mengatasi hal tersebut cukup besar, yaitu sekitar Rp 3.700 triliun sampai 2030 mendatang.

"Bagaimana kita bisa mendesain policy sehingga kerja sama bisa menerjemahkan sehingga financing gap bisa dipenuhi DNA komitmen climate change bisa dicapai. Kalau kita mau menurunkan CO2 40% maka kebutuhan US$ 479 billion. Jadi ini tantangan bagaimana policy kita bisa menghasilkan platform kerja sama yang kredibel," pungkasnya.

Sebelumnya, bendahara negara memang telah menyampaikan sejumlah proyeksi ke depan. Salah satunya, adalah skenario terburuk ekonomi Indonesia dari penyebaran kasus Covid-19.

Sri Mulyani menyiapkan skenario moderat hingga berat. Diawali dengan PPKM Darurat atau berganti dengan PPKM Level 4 skenario moderat dan berat berjalan sampai dengan 4-6 minggu.

Dengan skenario tersebut maka implikasi ke tingkat konsumsi masyarakat akan melambat. Pemulihan ekonomi akan tertahan, pertumbuhan ekonomi kuartal III diprediksi melambat ke 4,0 - 5,4% yoy dan kuartal IV 4,6 - 5,9%.

Pemerintah harus mengoptimalkan belanja agar ekonomi tidak kembali melemah seperti tahun sebelumnya. Di samping tetap mendorong pertumbuhan ekspor dan investasi. Bila tidak ada tekanan lagi, maka ekonomi sampai akhir tahun diproyeksikan di level 3,7-4,5%.

Sri Mulyani mengakui skenario yang lebih berat tentu bisa saja terjadi. Hanya saja berdasarkan data terkini, skenario tersebut yang dimungkinkan terjadi.

"Jadi, (yang dibuat pemerintah) skenario moderat dan berat. Belum memasukkan skenario yang lebih berat," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR beberapa waktu lalu.

Capaian perekonomian pada paruh pertama sebetulnya cukup gemilang. Kuartal I memang masih kontraksi, namun seiring peningkatan mobilitas masyarakat, ekonomi kuartal II diperkirakan tumbuh sampai 7-8%.

Indeks kepercayaan konsumen meningkat hingga indeks produksi manufaktur bahkan mencapai level tertinggi sepanjang sejarah.

"Kemudian kita melihat munculnya varian delta dari virus corona yang begitu dominan," ujar Sri Mulyani dalam CNBC Indonesia Economic Update dengan Tema 'Kebangkitan Ekonomi Indonesia'.


(cha/cha)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Atasi Perubahan Iklim, Pemerintah Habiskan Dana Rp 307 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular