Sri Mulyani, Biden & Ilmuwan Bicara Ancaman Ngeri dari Covid!

Redaksi, CNBC Indonesia
02 August 2021 09:40
INFOGRAFIS, Lebih Ngeri dari Covid, Bumi Mendekati Titik Krisi Iklim
Foto: Infografis/ Krisis Iklim/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini masih dicekam kekhawatiran dan disibukkan oleh penanganan pandemi Covid-19. Namun, banyak yang abai bahwa ada "pandemi" yang menjangkiti bumi dan memiliki efek mematikan bagi manusia seperti Covid-19, yakni perubahan iklim.

Adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa ada ancaman lain yang saat ini mengancam warga negara seluruh dunia, yang dampaknya sama besarnya dengan pandemi Covid-19.

"Climate change adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan akan sama seperti pandemi Covid-19," ujarnya dalam ESG (Environmental, Social, and Governance) Capital Market Summit.

Acara tersebut digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna memperingati diaktifkannya kembali pasar modal, bersama self regulatory organization (SRO) seperti PT Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Kliring Penjamin Efek Indonesia (KPEI), dan PT Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI).

ESG adalah prinsip investasi yang tidak hanya mengejar keuntungan melainkan berusaha menciptakan nilai keberlanjutan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik. Isu ini pertama kali diangkat dalam laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) berjudul "Principles for Responsible Investment (PRI)" yang dirilis pada 2006.

Menurut laporan BNP Paribas berjudul "ESG Global Survey 2019", mayoritas pengelola menyatakan akan meningkatkan alokasi dananya ke investasi berprinsip ESG. Hal ini meningkat dibandingkan dengan temuan survei pada tahun-tahun sebelumnya, yang menunjukkan kian tingginya kepedulian investor dengan isu lingkungan.

Dalam forum investasi mawas lingkungan tersebut, Sri Mulyani menyebutkan bahwa kesamaan bencana pandemi dan bencana perubahan iklim terletak pada dampaknya yang luas dan bisa menerpa seluruh negara, serta memicu kematian masif jika tidak ditangani dengan tepat.

Namun keduanya berbeda dalam hal mitigasi. Covid-19 muncul tanpa peringatan, tak ada yang bisa memprediksi pola dan alur penyebarannya. Sementara itu, perubahan iklim adalah ancaman yang sudah diprediksi dan diperingatkan oleh para ilmuwan di berbagai negara.

"Bahkan sama seperti pandemi, negara yang paling tidak siap dari sisi sistem kesehatannya, dari sisi kemampuan fiskalnya, dari sisi disiplinnya dan dari kemampuan untuk mendapatkan vaksin dan melakukan vaksinasi mereka mungkin akan terkena paling berat dampaknya," kata dia.

Sayangnya, aspek mitigasi ini belum terejawantah dalam perubahan kebiasaan kita. Jika warga dunia kini terbiasa dengan social distancing dan protokol kesehatan, maka perubahan iklim belum berujung pada perubahan kebiasaan pola konsumsi energi dan sumber daya lainnya.

Di satu sisi masyarakat belum terbiasa dengan diet emisi karbon, atau inisiatif untuk mengurangi aktivitas polusi, di sisi lain mayoritas negara di seluruh dunia belum melakukan perubahan kebijakan yang drastis untuk membuat aktivitas industri dan bisnis menjadi lebih ramah lingkungan.

Bagi Indonesia, desakan untuk melakukan kebijakan pencegahan pemanasan global tidak lagi bisa ditawar, terutama karena riset menunjukkan bahwa Republik ini ternyata terposisi sebagai negara yang paling rentan dengan efek perubahan iklim.

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden tiba-tiba menyebut Indonesia. Ini ia lakukan dalam pidato sambutan di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli lalu.

Diutarakannya, ada ancaman bagi RI. Di mana Jakarta terancam tenggelam dalam 10 tahun ke depan.

Pernyataan ini ia keluarkan ketika berbicara soal perubahan iklim. Menurutnya perubahan iklim adalah ancaman terbesar AS merujuk Kementerian Pertahanan.

"Departemen Pertahanan mengatakan apa ancaman terbesar yang dihadapi Amerika: perubahan iklim," tegasnya dalam pidato itu sebagaimana dipublikasikan whitehouse.gov, dikutip Jumat (30/7/2021).

Perubahan iklim menyebabkan naiknya permukaan laut. Ribuan orang bisa kehilangan tempat tinggal, mata pencarian dan kehidupan.

"Jika, pada kenyataannya, permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi, memperebutkan tanah yang subur ...," ujarnya.

"... Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?"

Karenanya ia meminta warga AS bergabung bersama warga dunia untuk mencegah ini. Menurutnya karena itu pula AS bahkan bisa bekerja sama dengan Rusia dan China.

Belakangan sebanyak 14 ribu ilmuwan dunia menyebut bahwa bumi saat ini mendekati titik kritis iklim yang sangat mengkhawatirkan.

Mengutip Al Jazeera, para peneliti itu menandatangani sebuah inisiatif yang menyebut bahwa pemerintah secara konsisten gagal mengatasi eksploitasi berlebihan terhadap Bumi, dimana mereka menggambarkannya sebagai akar penyebab krisis.

"Kami mencatat lonjakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam bencana terkait iklim, termasuk banjir di Amerika Selatan dan Asia Tenggara, gelombang panas dan kebakaran hutan yang memecahkan rekor di Australia dan AS, dan topan yang menghancurkan di Afrika dan Asia Selatan," tulis pernyataan ilmuwan itu yang diunggah di jurnal BioScience pada hari Rabu (28/7/2021).

Dalam mengemukakan peringatan ini, ilmuwan berkaca pada beberapa fenomena termasuk deforestasi, emisi gas rumah kaca, ketebalan gletser dan luasan es laut, serta deforestasi. Dari 31 tanda-tanda alam, mereka menemukan bahwa ada 18 indikator mencapai rekor tertinggi atau terendah.

"Greenland dan Antartika baru-baru ini menunjukkan tingkat massa es terendah sepanjang masa dan gletser mencair 31% lebih cepat daripada 15 tahun yang lalu," kata para penulis.

"Suhu panas permukaan laut global mencatat rekor baru sejak 2019, dan tingkat deforestasi tahunan hutan Amazon Brasil mencapai level tertinggi dalam 12 tahun terakhir pada 2020," lanjutnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular