Sri Mulyani Benar, Ini Fakta Ancaman Ngeri Setelah Covid-19

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
29 July 2021 10:35
Ilustrasi Kendaraan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Aksi Climate Strike (Mogok untuk Iklim) di Sydney, Australia pada Jumat, 20 September 2019 (REUTERS/Cordelia Hsu)

Ada salah kaprah yang seringkali berkembang terkait dengan strategi pengurangan dampak perubahan iklim, yakni mengenai emisi karbon gas rumah kaca (GRK), yakni karbon dioksida, metana, nitro-oksida, dll. Banyak yang menganggap bahwa penurunan suhu dilakukan dengan melakukan program emisi nol (zero emission).

Jika itu yang ditempuh, maka manusia harus menghentikan segala aktivitasnya, karena pada dasarnya setiap aktivitas kita memiliki jejak karbon, mulai dari beternak, berkebun dengan pupuk buatan. Tak usah jauh-jauh, setiap hela nafas kita berujung pada emisi karbon (dioksida).

Oleh karenanya, target emisi nol jelas utopis alias tidak mungkin tercapai. Saat ini yang sedang didengungkan adalah program emisi nol bersih, di mana setiap aktivitas manusia yang memicu GRK harus diikuti dengan program penyerapan GRK secara proporsional agar gas-gas tersebut tidak naik ke atmosfer.

Program ini dicanangkan dalam Panel Antar-pemerintah mengenai Perubahan Iklim (Inter-governmental Panel on Climate Change/IPCC) pada tahun 2013, atau 4 tahun sejak studi pertama membuktikan bahwa pemanasan global dipicu oleh emisi CO2 di atmosfir dan bukannya gas yang ada di permukaan bumi.

Hal tersebut diungkap Myles Allen dkk dalam riset berjudul "Warming Caused by Cumulative Carbon Emissions towards The Trillionth Tonne" (2009). Swedia menjadi negara pertama yang menyikapi serius. Pada 2017, mereka mematok target emisi nol bersih, atau istilahnya 'netral-karbon' pada 2045.

Pada tahun lalu, China yang merupakan produsen terbesar GRK menyatakan akan mencapai posisi netral-karbon pada 2060. Amerika Serikat (AS) baru mengikuti langkah tersebut tahun ini, setelah presiden Joe Biden berkuasa. Posisi netral-karbon diharapkan dicapai pada tahun 2050.

qSumber: OWID

Indonesia mengikuti China dengan membidik posisi netral-karbon tahun 2060. Hal ini tertuang dalam dokumen Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050) yang disampaikan kepada United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC), sebagai bagian dari mandat Perjanjian Paris.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan akan menurunkan emisi GRK di lima sektor: energi, limbah, industri, pertanian dan kehutanan. Selain itu, dia berkomitmen meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial dan sumber penghidupan, serta ekosistem dan lanskap.

Terbaru, Sri Mulyani berencana menerapkan pajak karbon yang akan menjadi disinsentif bagi pelaku usaha energi fosil baik minyak maupun batu bara. Secara bersamaan, pemanfaaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga terus dikembangkan.

Hanya saja, jika tidak hati-hati, Indonesia bisa terjebak pada dilema ongkos harga energi yang mahal, karena teknologi EBT sampai sekarang masih bergantung pada subsidi. Jangan sampai energi bersih berujung pada mahalnya listrik bagi rakyat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular