Sederet Tantangan Bangun Industri Hilir Batu Bara di RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus mendorong hilirisasi batu bara demi meningkatkan nilai tambah. Namun, tak bisa dipungkiri, masih ada setidaknya dua kendala yang dihadapi dalam melakukan hilirisasi batu bara di Tanah Air.
Pertama adalah masalah penguasaan teknologi dan kedua adalah masalah keekonomian.
Hal tersebut disampaikan oleh Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dia mengatakan, hilirisasi menjadi salah satu upaya pemerintah mendorong pemanfaatan batu bara dengan lebih bersih.
"Bagus niatnya, tapi tantangan ada dua, pertama adalah penguasaan teknologi dan kedua adalah keekonomian. Tantangan besar sekali," paparnya dalam Webinar: Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional, Senin malam (27/07/2021).
Ridwan mengatakan, berbagai proyek peningkatan nilai tambah sudah dicanangkan. Namun dalam pelaksanaannya, kecepatannya tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Berbagai proyek nilai tambah yang sudah dicanangkan sampai saat ini masih berjalan dengan kecepatan yang belum sesuai ekspektasi," tuturnya.
Sejumlah proyek hilirisasi batu bara yang tengah dikerjakan antara lain batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), briket, batu bara kokas, peningkatan kadar batu bara (coal upgrading), gasifikasi, hingga pencairan batu bara. Salah satu proyek hilirisasi yang gencar dipublikasikan yaitu proyek gasifikasi batu bara yang dilakukan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan perusahaan asal Amerika Serikat selaku investor dan pembawa teknologi, Air Products. Gasifikasi ini untuk mengubah batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang nantinya bisa sebagai substitusi LPG.
Lebih lanjut dia mengatakan, total emisi CO2 di Indonesia mencapai 1.262 Giga Ton (Gt), di mana kontribusi emisi CO2 yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mencapai 35%.
Adapun sebesar 32,5 Giga ton emisi CO2 dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Jawa, Madura, dan Bali, berdasarkan data 2017, sehingga ini menjadi potensi bagi Indonesia untuk memproduksi produk metanol.
Untuk mengurangi emisi CO2 akibat pembakaran batu bara, maka perlu digunakan teknologi batu bara yang bersih.
"Teknologi seperti Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) didorong terus untuk digunakan tapi penguasaan teknologi dan keekonomian masih jadi perjuangan kita," ungkapnya.
Dia mengatakan, berdasarkan studi PLN dan World Bank tahun 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia. Namun, teknologi CCUS ini dapat meningkatkan biaya produksi secara signifikan, tetapi masih bersaing dengan pembangkit listrik panas bumi.
Dia pun mengakui, insentif dan dukungan kebijakan dari pemerintah diperlukan untuk pengembangan teknologi ini.
(wia)