
Harga Batu Bara 'Ngamuk', Pengusaha Masih Ogah Eksplorasi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara saat ini sedang mengalami tren kenaikan, bahkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) Juli 2021 menjadi yang tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
Pada perdagangan kemarin, Senin (12/07/2021), harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) berada pada pada posisi US$ 136,4 per ton, naik 0,22% dibandingkan perdagangan Jumat akhir pekan lalu (09/07/2021).
Berdasarkan riset CNBC Indonesia, harga batu bara sudah melesat 15,81% dalam sebulan terakhir.
Lalu, bagaimana dampak dari kenaikan harga batu bara pada kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan? Apakah penambang masih enggan melakukan eksplorasi?
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, di tengah melonjaknya harga batu bara, perusahaan besar dan pemilik cadangan besar kemungkinan bisa menggiatkan eksplorasi.
Akan tetapi, bagi perusahaan yang cadangannya hanya bertahan untuk tiga sampai lima tahun, menurutnya kemungkinan akan berpikir lagi untuk melakukan eksplorasi.
Hal ini dikarenakan eksplorasi butuh biaya besar dan memiliki risiko yang tinggi.
"Tentu yang punya kemampuan besar dan cadangan panjang bisa lakukan eksplorasi, tapi bagi perusahaan kecil, mereka bakal pikir ulang. Eksplorasi itu butuh biaya besar dan risiko yang tinggi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (13/07/2021).
Menurutnya, meski ada perusahaan mampu secara finansial, namun tidak semuanya mau melakukan eksplorasi karena besarnya biaya yang dikeluarkan.
"Tapi nggak semua mau eksplorasi lagi, daripada keluar biaya gede," lanjutnya.
Menurutnya, rasio keberhasilan (success ratio) eksplorasi mineral dan batu bara di RI masih terhitung rendah, yakni hanya 2% dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4%.
Dengan demikian, ini juga menjadi pertimbangan penambang minim lakukan eksplorasi dan temukan cadangan baru.
"Apalagi success ratio kecil, Indonesia di bawah rata-rata global," imbuhnya.
Hendra menjelaskan jika dibandingkan dengan mineral, eksplorasi dari batu bara sedikit lebih mudah. Dalam proses eksplorasi perlu dilakukan pengambilan sample (sampling) dan pengeboran (drilling). Dari sample yang ada, dites berapa cadangannya dan kualitasnya.
"Gak semua wilayah punya kualitas sama. Selain itu, kadang izin sudah ada, tapi masyarakat menghambat, jadi faktor risiko terbentuk," paparnya.
HBA bulan Juli 2021 sebesar US$ 115,35 per ton, naik hampir 15% dari HBA Juni 2021 US$ 100,33 per ton. Berdasarkan data Kementerian ESDM, HBA di bulan Juli 2021 ini menjadi yang tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga dunia, setelah China dan India, tapi ternyata bukanlah pemilik cadangan terbesar di dunia.
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, negara yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia yaitu Amerika Serikat dengan jumlah 248,94 miliar ton. Itu merupakan data cadangan terbukti yang tercatat hingga akhir 2020.
Setelah Amerika Serikat, posisi kedua diduduki oleh Rusia dengan jumlah cadangan terbukti batu bara tercatat mencapai 162,17 miliar ton.
Indonesia bahkan berada di bawah Jerman untuk jumlah cadangan terbukti batu bara yakni 34,87 miliar ton, sementara Jerman mencapai 35,9 miliar ton hingga akhir 2020.
Berikut sejumlah negara dengan cadangan terbukti batu bara terbesar hingga akhir 2020, seperti dikutip dari BP Statistical Review 2021:
1. Amerika Serikat: 248,94 miliar ton.
2. Rusia: 162,17 miliar ton.
3. Australia: 150,23 miliar ton.
4. China: 143,19 miliar ton.
5. India: 111,05 miliar ton.
6. Jerman: 35,9 miliar ton.
7. Indonesia: 34,87 miliar ton.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), status per Juli 2020, jumlah sumber daya batu bara RI mencapai 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Meroket, Tapi Produksi Batu Bara Drop, Ini Pemicunya
