Kritik Keras Mantan Menteri Jokowi Soal Tax Amnesty Jilid II

Jakarta, CNBC Indonesia - Menko Perekonomian (periode 2015-2019), Darmin Nasution mengkritik soal adanya wacana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II melalui revisi perubahan kelima Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Darmin yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak, mengungkapkan bahwa pelaksanaan Tax Amnesty Jilid II berisiko menurunkan kepatuhan wajib pajak.
Seperti diketahui, Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disebutkan bahwa pengampunan pajak hanya berlaku satu kali saja, dengan periode Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.
"Saya ingatkan bahwa persoalan seperti ini walaupun tidak disebut Tax Amnesty, akan banyak sekali pengaruhnya pada compliance (kepatuhan) wajib pajak. Artinya, oh kalau gitu pemerintah akan bikin lagi, ngapain ikut?" ujar Darmin saat rapat Panja RUU KUP bersama Komisi XI DPR, dikutip Kamis (8/7/2021).
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu juga mengatakan, wacana Tax Amnesty Jilid II yang tercantum di dalam RUU KUP periodenya terlalu panjang, yakni 1985 - 2015 dan 2015 - 2019.
"Itu panjang sekali periodenya. Seingat saya di periode 1985 - 2015, tarifnya diberi keringanan. Tentu saja tidak dikenakan denda 15% dan 12,5% kalau diinvestasikan dalam SBN sekurang-kurangnya 5 tahun," ujarnya.
Sebelumnya Dirjen Pajak Suryo Utomo mengemukakan, ada dua skema program pengampunan pajak yang tertuang di dalam RUU KUP. Pertama, pengungkapan aset per 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan oleh wajib pajak peserta tax amnesty 2015-2016 yang tertuang di pasal 37B-37D RUU KUP.
Alumni tax amnesty 2015-2016 itu akan dikenai pajak penghasilan (PPh) Final 15% atas nilai aset yang belum diungkapkannya. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan oleh pemerintah, maka berlaku tarif PPh Final 12,5%.
Bagi alumni tax amnesty 2015-2016 yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN, wajib pajak tersebut harus membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN.
Jika Ditjen Pajak yang menemukannya maka wajib pajak harus membayar 5% dari nilai SBN yang gagal diinvestasikan tersebut. Menurut Suryo saat ada peserta tax amnesty yang belum mendeklarasikan asetnya dan ditemukan oleh pemeriksa pajak maka akan dikenakan PPh final 30% plus sanksinya 200%.
Kedua, pengungkapan aset bagi wajib pajak perorangan yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki hingga 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2019. Dalam rencana program pengampunan pajak, WP OP tersebut akan dikenakan PPh Final sebesar 30% dari nilai aset, atau 2% dari nilai aset jika diinvestasikan SBN yang ditentukan pemerintah.
Jika wajib pajak perorangan gagal menginvestasikan di SBN, pemerintah menetapkan tarif 12% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN itu. Wajib pajak harus membayar dengan tarif 15% dari nilai aset SBN jika ditetapkan atau ditemukan oleh Ditjen Pajak.
