Kritik Keras Mantan Menteri Jokowi Soal Tax Amnesty Jilid II

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 July 2021 10:40
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (CNBC Indonesia/Rehia Indrayanti Beru Sebayang)
Foto: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (CNBC Indonesia/Rehia Indrayanti Beru Sebayang)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menko Perekonomian (periode 2015-2019), Darmin Nasution mengkritik soal adanya wacana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II melalui revisi perubahan kelima Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Darmin yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak, mengungkapkan bahwa pelaksanaan Tax Amnesty Jilid II berisiko menurunkan kepatuhan wajib pajak.

Seperti diketahui, Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disebutkan bahwa pengampunan pajak hanya berlaku satu kali saja, dengan periode Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.

"Saya ingatkan bahwa persoalan seperti ini walaupun tidak disebut Tax Amnesty, akan banyak sekali pengaruhnya pada compliance (kepatuhan) wajib pajak. Artinya, oh kalau gitu pemerintah akan bikin lagi, ngapain ikut?" ujar Darmin saat rapat Panja RUU KUP bersama Komisi XI DPR, dikutip Kamis (8/7/2021).

Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu juga mengatakan, wacana Tax Amnesty Jilid II yang tercantum di dalam RUU KUP periodenya terlalu panjang, yakni 1985 - 2015 dan 2015 - 2019.

"Itu panjang sekali periodenya. Seingat saya di periode 1985 - 2015, tarifnya diberi keringanan. Tentu saja tidak dikenakan denda 15% dan 12,5% kalau diinvestasikan dalam SBN sekurang-kurangnya 5 tahun," ujarnya.

Sebelumnya Dirjen Pajak Suryo Utomo mengemukakan, ada dua skema program pengampunan pajak yang tertuang di dalam RUU KUP. Pertama, pengungkapan aset per 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan oleh wajib pajak peserta tax amnesty 2015-2016 yang tertuang di pasal 37B-37D RUU KUP.

Alumni tax amnesty 2015-2016 itu akan dikenai pajak penghasilan (PPh) Final 15% atas nilai aset yang belum diungkapkannya. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) yang ditentukan oleh pemerintah, maka berlaku tarif PPh Final 12,5%.

Bagi alumni tax amnesty 2015-2016 yang gagal menginvestasikan asetnya dalam SBN, wajib pajak tersebut harus membayar 3,5% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN.

Jika Ditjen Pajak yang menemukannya maka wajib pajak harus membayar 5% dari nilai SBN yang gagal diinvestasikan tersebut. Menurut Suryo saat ada peserta tax amnesty yang belum mendeklarasikan asetnya dan ditemukan oleh pemeriksa pajak maka akan dikenakan PPh final 30% plus sanksinya 200%.

Kedua, pengungkapan aset bagi wajib pajak perorangan yang diperoleh pada 2016-2019 dan masih dimiliki hingga 31 Desember 2019, tapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2019. Dalam rencana program pengampunan pajak, WP OP tersebut akan dikenakan PPh Final sebesar 30% dari nilai aset, atau 2% dari nilai aset jika diinvestasikan SBN yang ditentukan pemerintah.

Jika wajib pajak perorangan gagal menginvestasikan di SBN, pemerintah menetapkan tarif 12% dari nilai aset jika mengungkapkan sendiri kegagalan investasi di SBN itu. Wajib pajak harus membayar dengan tarif 15% dari nilai aset SBN jika ditetapkan atau ditemukan oleh Ditjen Pajak.

Darmin menyarankan, agar pemerintah bisa menyasar sektor yang dinilai ampuh untuk mendorong penerimaan pajak, di tengah lesunya ekonomi saat ini. Salah satunya adalah dengan menghilangkan tarif PPh Final untuk sektor konstruksi dan real estate.

Berkaca dari pengalamannya saat menjadi pimpinan otoritas pajak, Darmin menjelaskan bahwa pada 2006-2009 pemerintah memutuskan untuk menghilangkan tarif PPh Final bagi sektor konstruksi dan real estate. Kedua sektor tersebut, kata Darmin jika dikembalikan dengan tarif normal, akan meningkatkan penerimaan secara drastis.

"Saya sarankan sektor konstruksi dan real estate supaya dinormalkan saja PPh-nya, pasti akan naik (penerimaan). Walaupun dampaknya, ke biaya dan harga real estate maupun infrastruktur, tapi penerimaan justru akan naik lebih cepat jika ini dilakukan," jelas Darmin dalam rapat panja pembahasan RUU KUP bersama Komisi XI DPR, Rabu (7/7/2021).

Mantan Gubernur Bank Indonesia itu pun menyarankan agar pemerintah lebih hati-hati dalam menyasar wajib pajak. Salah satunya dengan pengenaan tolok ukur atau benchmark pada PPh. Hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan data atau core tax yang telah dimiliki Ditjen Pajak.

Benchmark itu pun, kata Darmin sudah dipakai oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Sehingga pemerintah tidak lagi pusing menyasar seluruh wajib pajak.

"Misalnya dia ngaku general manager di perbankan, maka pemerintah tentukan benchmark di sana, gaji GM di bank berapa, bayar pajaknya berapa. Kalau dia di atas benchmark, ya tidak usah diperiksa, itu menurut saya sangat efektif," kata Darmin.

"Kalau di atas benchmark enggak usah diperiksa, pun sudah bagus bayar pajaknya. Orang baik kok disusahin?" ujarnya lagi.

Pandemi ditambah adanya PPKM Darurat ini, juga kata Darmin sangat menyulitkan pemerintah dalam mengejar target pajak. Di satu sisi, pemerintah juga harus melakukan reformasi perpajakan agar penerimaan semakin optimal.

Menurut Darmin di situasi seperti ini, memang momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan melalui peraturan perundang-undangan. Namun, kapasitas data dan administrasi Ditjen Pajak juga harus ditingkatkan.

Selain itu juga, struktur penerimaan pajak di Indonesia saat ini, kata Darmin didominasi oleh Pajak Penghasilan (PPh) dari wajib pajak badan atau perusahaan. Dibandingkan negara-negara maju, struktur penerimaannya lebih banyak disumbang PPh Orang Pribadi.

"Ini yang membuat penerimaan pajak semakin sulit ketika ekonomi mengalami resesi. Dalam situasi lambat ekonominya seperti sekarang, enggak bisa PPh naik cepat. Makanya dilema juga buat pemerintah. Pemerintah saya rasa yakin sadar betul saat ini," ujarnya.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular