
Ribuan Izin Tambang Terancam Dicabut, Ada Apa Nih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebanyak 2.350 izin pertambangan tengah dievaluasi pemerintah. Jika perusahaan tidak menjalankan kewajiban dengan alasan yang tidak bisa diterima, maka izin usahanya akan dicabut.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif mengatakan, jumlah izin tambang yang dievaluasi merupakan bagian dari 5.600 izin pertambangan yang ada saat ini.
Menurutnya, mulanya Presiden memerintahkan untuk meninjau kembali sebanyak 1.600 Izin Usaha Pertambangan (IUP), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), dan Kontrak Karya (KK).
"Ternyata bukan 1.600, malah ada 2.300-an yang mendekati 2.350. Semua masalah ini akan dievaluasi. Ini sedang dikerjakan. Mereka yang gak bisa melakukan kegiatan yang tidak bisa diterima, maka perintahnya di ujung akan dicabut," ungkapnya dalam diskusi daring, Jumat (25/06/2021).
Usulan pencabutan ini mulanya diusulkan oleh Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah dalam diskusi tersebut, lalu diterima Kementerian ESDM dan akan ditindaklanjuti.
"Ini saya kira usulan yang bagus, ini akan saya bawa," kata Irwandy.
Merah mengatakan pencabutan izin pertambangan bukanlah suatu kemunduran. Dia meminta agar tidak memaksakan izin pertambangan dilanjutkan jika ada pelanggaran.
"Bahwa mencabut bukan kemunduran, jangan memaksakan izin pertambangan. Jadi mudah-mudahan pak Irwandy bisa mempertimbangkan hal itu, ada pelanggaran dari pulau-pulau kecil," jelasnya.
Dia menjelaskan, ada beberapa pelanggaran penambangan yang terjadi di Pulau Sangihe. Salah satunya yaitu melanggar UU Pulau Kecil, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau PWP3K.
"Di sekitar Pulau Sangihe juga ada pulau-pulau lainnya di sisi Timur dan Selatan. Apakah kajian pemerintah juga bahas pulau-pulau kecil yang berkaitan dengan Sangihe?" katanya.
Menurutnya, bahkan partisipasi masyarakat juga dilupakan di mana warga hanya mendapat tawaran tanah seharga Rp 5.000 per meter atau hanya Rp 50 juta per hektar.
"Penuh masalah karena tidak melibatkan mereka, padahal banyak sekali aturan gak hanya substansi tapi juga proses dari substansi, warga mendapatkan tawaran tanah Rp 5.000 per meter," sesalnya.
Menanggapi kondisi ini Ketua Pusat Studi Hukum ESDM IKA Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Pakar Hukum Lingkungan dan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Wahyu Nugroho pun angkat bicara.
Menurutnya untuk menghindari kekisruhan seperti di tambang Sangihe, maka instrumen perizinan lingkungan hidup tidak dapat diabaikan, khususnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Dia berpendapat bahwa pemerintah harus memastikan apakah izin tersebut sudah tersinkronisasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah & Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
"Mengingat 80% wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan, sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya," ungkapnyas.
Kemudian dari sisi sosiologis, perlu diperhatikan soal keikutsertaan masyarakat dalam proses wilayah penetapan pertambangan, Amdal, dan lainnya. Menurutnya masyarakat punya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
"Kalau tidak ada partisipasi masyarakat, itu menjadi cacat formil izin pertambangannya," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Batu Bara, Ini Izin Tambang yang Melonjak Signifikan
