Duh, Akhir Pandemi Tak Pasti, Ini Ancaman Mengintai RI 2022

Lidya Julita S., CNBC Indonesia
06 June 2021 14:10
[DALAM] Ancaman Ekonomi RI versi Sri Mulyani
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 masih membayangi Indonesia dan belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Setidaknya, untuk tahun depan virus corona masih menjadi tantangan yang harus diatasi dampaknya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini akan bergantung pada data-data perekonomian pada kuartal kedua.

Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat membuka peresmian rapat koordinasi pengawasan intern pemerintah tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip Minggu (6/6/2021).

"Target kita di kuartal kedua melompat kurang lebih mencapai 7%. Bukan sesuatu yang mudah, bukan sesuatu yang gampang," kata Jokowi.

Jokowi menegaskan pada tahun ini pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di rentang 4,5% - 5,5%. Jika tidak mencapai angka pertumbuhan 7%, bukan tidak mungkin target pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun tidak tercapai.

"Jadi kalau enggak ketemu angka 7%, untuk mengejar ke pertumbuhan ekonomi tahun 2021 juga bisa menjadi tidak tercapai meskipun kita ada ketidakpastian ekonomi global, ada ketidakpastian pandemi," katanya.

Indonesia sendiri memang dituntut untuk pulih lebih cepat agar terhindar dari risiko taper tantrum yang pernah terjadi kala 2013 lalu. Apalagi, kemungkinan besar bank sentral AS (The Federal Reserve) akan meninggalkan kebijakan ultra longgar untuk menuju pengetatan atau yang dikenal dengan istilah tapering off.

Saat itu terjadi, maka perekonomian domestik pun akan semakin kesulitan untuk pulih. Pasalnya, periode taper tantrum hanya akan membuat ketidakpastian semakin menjadi. Aliran dana asing pun akan pergi dari sejumlah negara berkembang menuju ke tempat yang lebih aman.

Namun, eks Gubernur DKI Jakarta itu juga mengakui bahwa bukan perkara mudah untuk mencapai angka tersebut. Apalagi, Jokowi menemukan fakta realisasi anggaran pemerintah pusat maupun daerah masih relatif rendah.

"Supaya kita tau semua, realisasi belanja pemerintah masih rendah sekitar 15% untuk APBN dan 7% untuk APBD. Masih rendah," katanya.

Selain itu, Jokowi juga membeberkan realisasi dana program pemulihan ekonomi (PEN) yang telah dialokasikan hingga nyaris Rp 700 triliun. Hingga saat ini, realisasinya pun masih rendah.

"Serapan belanja pemulihan ekonomi nasional juga masih rendah baru 24,6% Sekali lagi kecepatan, ketepatan sasaran," jelasnya.

Rendahnya akselerasi belanja, sambung dia, juga tercermin dari pos belanja pengadaan barang dan jasa baik di kementerian lembaga maupun pemerintah daerah.

"Kuartal pertama realisasi pengadaan barang dan jasa dari kementerian lembaga baru sekitar 10,98%. Kemudian pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah daerah masih kurang dari 5%," jelasnya.

Ramalan Menkeu dan Gubernur BI

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perekonomian Indonesia diprediksi akan mengalami beberapa gelombang ancaman di tahun depan, salah satunya adalah fenomena Taper Tantrum, yang dikhawatirkan mulai terjadi seiring dengan rencana pengetatan kebijakan bank sentral.

Oleh karenanya, ada beberapa instrumen yang sedang disiapkan pemerintah dalam mengantisipasi hal itu.

"Kita pernah belajar dari fenomena terdahulu seperti taper tantrum di tahun 2013, di mana ekspektasi normalisasi kebijakan moneter AS dapat mendorong pembalikan arus modal dari negara berkembang," jelas Sri Mulyani.

Hal senada juga diungkapkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mewaspadai adanya tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed.

"Di pasar keuangan memang terjadi kenaikan US Treasury yield karena stimulus fiskal yang besar US$ 1,9 triliun. Ketidakpastian ini masih berlangsung meskipun sudah sedikit mereda karena kejelasan arah The Fed yang tahun ini belum akan melakukan tapering," jelas Perry.

"Namun tahun depan, kita masih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya, mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry melanjutkan.

Salah satu langkah untuk mengantisipasi hal ini adalah membentuk kerjasama dengan otoritas seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah terkait dengan pendalaman dan pengembangan pasar keuangan.

Pemerintah sepakat pasar keuangan domestik yang dalam, aktif, dan likuid sangat diperlukan dalam meningkatkan stabilitas pasar yang pada gilirannya akan menurunkan yield SUN.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular