Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Asia yang diharapkan melaju pesat di tahun 2021 ini justru menghadapi risiko yang serius. Pandemi Covid-19 masih menjadi risiko terbesar bagi pemulihan ekonomi di kawasan Benua Kuning.
Pusat (episentrum) wabah Covid-19 yang sebelumnya berada di Amerika Serikat (AS) dan Eropa kini bergeser ke timur. Negara-negara di kawasan Asia seperti India, Malaysia, Filipina, dan Thailand justru mencatatkan peningkatan kasus yang luar biasa.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah China untuk regional Asia, India memainkan peranan penting. Selain sebagai destinasi ekspor negara-negara penghasil komoditas seperti Indonesia, Negeri Bollywood juga punya peran penting dalam rantai pasok vaksin global.
India merupakan penyedia vaksin Covid-19 untuk Covax, semacam kelompok yang berinisiatif untuk memastikan bahwa distribusi vaksin ke negara-negara yang membutuhkan terutama negara berkembang dan miskin.
Dengan adanya lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi, Serum Institute India menyatakan tak akan kembali mengirim vaksin Covid-19 untuk fasilitas Covax hingga akhir tahun ini. Jelas ini menjadi risiko bagi pemulihan ekonomi untuk kawasan Asia.
Laju vaksinasi di negara-negara kawasan Asia yang lebih rendah membuat outlook pertumbuhan ekonomi menjadi buram dan tertinggal dari negara-negara maju. Dunia seolah terbalik memang.
Dulu sebelum pagebluk terbesar abad ini melanda ekonomi negara-negara maju seolah loyo karena pertumbuhannya yang rendah. Sekarang justru negara-negara berkembang yang terancam mengalami hal tersebut.
Fitch Solutions dalam riset terbarunya memproyeksikan perekonomian Asia akan tumbuh positif tahun ini karena adanya fenomena low base effect pasca output mengalami kontraksi tahun lalu. Namun PDB tak akan tumbuh lebih tinggi dari level sebelum pandemi.
Bergesernya episentrum wabah ke kawasan Asia juga menghambat terjadinya reformasi di beberapa negara Asia yang mengalami peningkatan serius laju infeksi Covid-19 hariannya.
Dari sisi makro, Fitch Solutions melihat akan adanya konsolidasi fiskal. Defisit anggaran di beberapa negara seperti di Sri Lanka, Malaysia dan Filipina akan semakin melebar tahun ini. Namun untuk negara selain itu kecenderungannya akan menurun.
Defisit anggaran diperkirakan bakal ditambang dengan utang yang pada akhirnya membuat rasio utang publik terhadap output perekonomian di mayoritas negara Asia akan kembali naik.
Halaman Selanjutnya --> Bagaimana dengan RI untuk tahun 2021?
Beralih ke dalam negeri, lembaga riset keuangan Fitch Solution memberikan ramalan yang baik untuk Indonesia. PDB RI diramal bisa tumbuh 5,46% tahun ini. Angka tersebut hampir 100 basis poin (bps) lebih tinggi dibandingkan dengan konsensus Bloomberg di 4,55%.
Tingkat inflasi juga diperkirakan masih jinak dan berada di sasaran target bank sentral. Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia diperkirakan naik 2,27% secara rata-rata atau 7 bps lebih tinggi dari konsensus Bloomberg.
Bank Indonesia (BI) memandang indikator perekonomian makro Indonesia terus membaik ditopang oleh faktor eksternal maupun internal. Kenaikan volume perdagangan harga komoditas dan kinerja ekspor impor berbagai negara menjadi katalis positif eksternal untuk perekonomian domestik.
Sementara itu dari sisi internal, program vaksinasi yang terus digenjot membuat mobilitas publik mengalami peningkatan. Namun dalam hal ramal-meramal, BI cenderung lebih konservatif. Terakhir BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi RI dari 4,3%-5.3% menjadi 4,1%-5,1%. Lebih rendah dari perkiraan Fitch Solutions.
Bagaimanapun juga risiko turun (downside risks) yang dihadapi Indonesia untuk tahun 2021 masih lebih banyak dibandingkan dari sisi positifnya. Pertama adalah kenaikan harga minyak mentah dunia.
Di satu sisi hal ini akan menggenjot kinerja ekspor RI. Namun peningkatan konsumsi bahan bakar dalam negeri akan membuat impor membengkak dan ujung-ujungnya neraca dagang bakal tekor. Defisit transaksi berjalan semakin melebar. Rupiah terancam mengalami depresiasi terhadap dolar AS.
Dari sisi anggaran sebenarnya APBN 2021 tak banyak berubah dibanding tahun lalu jika ditinjau dari nominal pendapatan dan belanja pemerintah. Namun fokusnya saja yang bergeser. Jika tahun lalu anggaran banyak dialokasikan untuk belanja sosial tahun ini sektor kesehatan seperti pengadaan vaksin menjadi prioritas.
Pemerintah masih menempuh kebijakan fiskal kontrasiklikal tahun ini yang menyebabkan defisit fiskal diperkirakan 5,7% PDB. Di atas kondisi normal yang dipatok di bawah 3% PDB.
Di tengah isu adanya kemungkinan tapering yang lebih awal karena perekonomian Negeri Paman Sam terus membaik, kombinasinya dengan semakin melebarnya twin defisit (anggaran dan CAD) maka rupiah akan menjadi terbebani.
Dari sisi epidemiologi sendiri, adanya varian baru Covid-19 yang semakin meluas dan sudah masuk ke Indonesia juga harus diwaspadai. Apalagi larangan mudik tahun 2021 juga tak bisa dibilang efektif. Masih ada masyarakat yang membandel. Potensi lonjakan kasus Covid-19 memang ada. Namun semoga hal itu tidak terjadi.
Hanya saja downside risks yang masih banyak menjadi penghambat bagi Indonesia untuk kembali dengan laju pertumbuhan tinggi di atas 5% seperti sebelum pandemi Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA