
'Perang Vaksin' di Balik Pembatasan Haji 2021 Arab Saudi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memberi pengumuman mengejutkan pada Kamis (3/5/2021), dengan menyatakan tidak akan mengirim jamaah haji ke Tanah Suci Mekkah, Arab Saudi. Di tengah persaingan distribusi vaksin Covid-19 dunia, aroma "perang vaksin" pun kental tercium.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengaku telah melakukan kajian mendalam mengenai keputusan penghentian pengiriman delegasi haji tersebut. Pihaknya juga sudah berkonsultasi dengan Komisi VIII DPR, melalui rapat kerja (Raker) kemarin Rabu (2/6/2021).
"Karena masih pandemi dan demi keselamatan jemaah, pemerintah memutuskan bahwa tahun ini tidak memberangkatkan kembali jemaah haji Indonesia," tutur Menag dalam telekonferensi pers di Jakarta, kemarin.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, keputusan itu memicu keprihatinan terutama bagi mereka yang telah membuka tabungan haji dan menyetor uang pangkal sebesar Rp 30 juta. Pasalnya, antrian mereka bakal kian panjang setidaknya 2 tahun ke depan.
Pasalnya, setiap tahun jumlah jamaah haji dari Indonesia mencapai 221.000 orang (per 2019) yang sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara pengirim delegasi haji terbanyak di dunia. Jumlah jamaah haji asal Indonesia ini setara dengan 12,3% dari jumlah jamaah haji sedunia yang pada 2019 mencapai 1,8 juta orang.
Setelah pembatasan haji-dengan hanya 1.000 orang jamaah pada tahun lalu, penundaan pengiriman haji tahun ini berujung pada mentoknya 441.000 orang dalam antrian di Indonesia. Mereka yang siap-siap berangkat haji tahun ini pun harus menundanya lagi, setidaknya setahun ke depan. Bagi yang baru mendaftar haji dan berada di antrian paling ujung, ini kabar buruk.
Saat ini, rata-rata antrian haji di Indonesia (berdasarkan data Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah per 2019) adalah 21,3 tahun. Artinya, jika anda menyetor uang pangkal hari ini, maka kemungkinan baru bisa berhaji 21 tahun ke depan. Dengan penundaan 2 tahun, maka rerata antrian tersebut pun bertambah menjadi 23 tahun.
Penundaan ini bukan hanya menimbulkan problem bertambahnya deret hitung antrian, melainkan juga deret ukur biaya yang harus dikeluarkan. Harap diingat, semakin lama tabungan haji mengendap, semakin turun pula nilainya akibat tergerus inflasi. Imbasnya, setoran haji yang harus dibayarkan ketika hari H pun semakin mahal.
Dengan demikian, keputusan pemerintah kali ini menjadi kabar buruk bagi para calon jamaah haji, meski alasan yang dipakai adalah demi "keselamatan para peserta haji sendiri." Keputusan itu juga terlalu dini, karena pemerintah Saudi hingga kini belum mengumumkan kuota haji.
Halaman Selanjutnya >> Ada Persoalan Vaksin di Baliknya?
Jika kita melihat dinamika penanganan pandemi Covid-19 di dunia, di mana semua negara saling berlomba mengembangkan dan memasarkan vaksin, alasan yang disampaikan oleh Menteri Yaqut menjadi cenderung simplisistis atau menyederhanakan realita.
Pemerintah Arab Saudi sejauh ini baru mengakui empat merek vaksin yang digunakan di negeri mereka. Keempatnya adalah besutan "Blok Barat", yakni Moderna (Amerika Serikat/AS), Pfizer-Biontech (Jerman-AS), Oxford-Astrazeneca (Inggris-Swedia), dan Johnson & Johnson (AS).
Di luar itu, kita tahu bahwa ada beberapa vaksin yang dikembangkan oleh negara non-Barat, yang dipakai banyak negara, tetapi belum diakui oleh pemerintah Saudi. Sebut saja Sinovac dan Sinopharm yang keduanya merupakan besutan China, serta vaksin Sputnik V (besutan Rusia).
Sama seperti vaksin-vaksin buatan negara Barat, vaksin asal negara "Blok Timur" tersebut juga sudah banyak dipakai di berbagai negara. Indonesia, misalnya, menjadi salah satu pasar terbesar Sinovac, bersama dengan 80 negara lainnya.
Alasan kenapa Saudi hanya mengakui empat merek vaksin itu menjadi pertanyaan besar. Terlebih, hal tersebut berkonsekuensi pada izin masuk ke negaranya, yang hingga detik ini hanya diberikan pada 11 negara. Semuanya adalah kubu Barat yakni Uni Emirat Arab (UEA), Jerman, AS, Irlandia, Italia, Portugal, Inggris, Swedia, Swiss, Prancis dan Jepang.
Pasalnya, jika bicara mengenai persetujuan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) itu faktanya telah menyetujui penggunaan Sinovac dan Sinopharm untuk keperluan darurat (emergency use of listing/EUL).
Baik Biontech, AstraZeneca, Johnson & Johnson maupun Moderna juga mendapatkan izin WHO dengan status sama, yakni untuk keperluan darurat (EUL). Pada dasarnya, pengembangan semua vaksin Covid-19 masih belum tuntas dan perlu uji-coba skala luas yang melibatkan penerima lintas-ras.
Uniknya, vaksin Sputnik yang sejauh ini telah dipakai di 66 negara di dunia seperti India, Argentina, Palestina, hingga Filipina justru belum diakui WHO. Padahal, vaksin besutan Gamaleya Research Institute tersebut disebutkan memiliki efektivitas 97,6% (berdasarkan data per 31 Maret).
Efektivitas tersebut lebih tinggi dari vaksin Pfizer yang sebesar 95%, Moderna yang di level 94%, dan Johnson & Johnson yang hanya 66,3%. Vaksin Sinovac pun memiliki efektivitas sebesar 51% atau melampaui ambang batas minimal layak-tidaknya vaksin diedarkan, yakni sebesar 50%.
Dengan demikian, semestinya jika berbasis data klinis maka tidak ada alasan bagi WHO atau bagi negara tertentu melarang penggunaan vaksin-vaksin yang sama-sama menunjukkan efektivitas melawan virus Covid-19, dan sama-sama masih menyempurnakan produk vaksin mereka.
Halaman Selanjutnya >> Vaksin Bukan Lagi Produk Netral
Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan jawaban rasional atas pelarangan masuk warga asing oleh pemerintah Saudi (kecuali bagi 11 negara di atas). Pelarangan ini berujung pada spekulasi bahwa faktor persaingan vaksin menjadi pemicunya, yang berimbas pada kebijakan haji tahun ini.
Pasalnya, perang vaksin memang sedang berlangsung antara kedua blok tersebut. Uni Eropa melalui Agen Pengobatan Eropa (European Medicines Agency/EMA) baru-baru ini menerbitkan aturan pelarangan warga negara asing memasuki Eropa Barat, kecuali sudah mendapat vaksin yang mereka setujui. Vaksin produksi China dan Rusia, tentu saja, tak diakui.
Membalas itu, China pun melarang masuknya warga asing ke negara mereka, jika tidak memiliki sertifikat bahwa dia sudah mendapatkan suntikan vaksin produk China. Mengutip The Guardian, rencana pemberlakuan kebijakan itu sudah diumumkan di 20 negara.
Hilangnya kesetaraan posisi vaksin ini mengindikasikan bahwa penanganan pandemi dunia sudah mulai diwarnai dengan kepentingan politik global, di mana negara-negara pemegang hegemoni saling bersaing memperebutkan pengaruh lewat vaksin.
Media AS berulangkali menuduh China melakukan "diplomasi vaksin" meski pemerintah AS sendiri gagal memasok vaksin murah bagi negara berkembang. Uni Eropa bahkan bersitegang dengan AstraZeneca karena tak rela negara mereka dinomorduakan dalam pasokan vaksin.
Di tengah "perang" tersebut, wajar jika kerajaan Saudi yang selama ini dekat dengan pemerintah AS ikut meramaikan dengan hanya mengizinkan warga dari 11 negara aliansinya itu untuk masuk ke teritorinya. Sangat bisa dipahami jika mereka bersikap diskriminatif terhadap vaksin produksi Rusia dan China.
Bukan tidak mungkin, kebijakan ini juga akan diberlakukan dalam pelaksanaan haji yang tinggal kurang dari dua bulan ini. Jika demikian kasusnya, maka pemerintahan negara berpenduduk mayoritas muslim "dipaksa" memesan vaksin besutan Blok Barat itu demi jamaah hajinya.
Oleh karena itu, Keputusan Menteri Yaqut yang prematur ini sangat disayangkan karena seolah terseret dalam pusaran persaingan vaksin tersebut. Indonesia memilih angkat tangan sebelum mengegolkan kuota ibadah haji-yang semula diprediksi masih tetap berjalan tahun ini, meski dengan pengurangan peserta dan pengetatan protokol kesehatan.
Indonesia perlu belajar dari Malaysia yang masih mencoba berdiplomasi dengan kerajaan Bani Saud, dan memilih mengalah dengan menyatakan siap menyuntik vaksin produk Barat ke calon jamaah haji mereka. Indonesia, yang posisi tawarnya lebih tinggi dari Malaysia karena menjadi pemasok haji terbanyak, malah memilih mundur tanpa berupaya mengambil jalan tengah serupa.
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Saudi Keluarkan Syarat Terbaru Haji 2021, Apa Saja?