Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah yang terus meningkat dengan tajam perlu diwaspadai oleh Indonesia. Pasalnya sebagai negara nett oil importer, peningkatan permintaan bahan bakar bakal membuat impor naik yang akhirnya berujung pada jebolnya transaksi berjalan (current account) seperti satu dekade terakhir.
Survei yang dilakukan Reuters terhadap 45 pelaku pasar menunjukkan ramalan harga minyak di tahun ini terus direvisi naik. Survei bulanan yang dimulai pada bulan kesepuluh tahun lalu menunjukkan bahwa rata-rata harga Brent masih diperkirakan di US$ 50/barel.
Di bulan Mei pelaku pasar semakin bullish terhadap prospek permintaan minyak sehingga merevisi naik perkiraan rata-rata harga Brent tahun ini menjadi US$ 64,79/barel, meningkat dari bulan sebelumnya di US$ 64,17/barel.
Jika dibandingkan dengan bulan Oktober tahun lalu maka ada revisi naik sebesar US$ 15/barel atau setara dengan sebesar 30%. Revisi naik ramalan tersebut senada dengan harga kontrak futures Brent sudah naik 38,5% sepanjang 2021.
Organisasi negara eksportir minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak untuk tahun 2021 bakal meningkat sebanyak 6 juta barel per hari (bph) atau sekitar 6% dari permintaan global sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Vaksinasi yang terus digeber di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara barat membuat optimisme pemulihan ekonomi dan konsumsi minyak dunia membaik. Baik IEA maupun OPEC memprediksi permintaan minyak bakal konsisten mengalami kenaikan dari kuartal kedua sampai kuartal keempat.
Pada kuartal terakhir tahun ini permintaan minyak diproyeksikan sudah sangat mendekati konsumsi sebelum pandemi di 100 juta bph. Perkiraan OPEC lebih tinggi 100 bph ketimbang IEA.
Halaman Selanjutnya --> Awas CAD RI Melar Lagi
Kenaikan harga minyak yang diikuti dengan peningkatan impor bakal membuat neraca perdagangan migas RI kembali menjadi tekor dan akan berdampak pada semakin melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Saat harga minyak dunia ambles karena permintaan yang menurun tajam akibat pandemi Covid-19, defisit transaksi berjalan RI tercatat hanya 0,4% PDB. Tahun ini adalah tahun pemulihan ekonomi dunia termasuk Indonesia.
Membaiknya mobilitas publik mengerek naik konsumsi bahan bakar. Tren lifting yang terus menurun dan kapasitas kilang yang tak mencukupi kebutuhan domestik mengharuskan Indonesia mengimpor minyak.
Pada April lalu impor migas RI tercatat menurun 11% secara bulanan. Namun naik lebih dari 130% secara tahunan karena pada periode yang sama tahun sebelumnya impor minyak drop akibat pemberlakuan PSBB.
Berdasarkan perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar US$ 1 barel berpengaruh secara signifikan dan akan meningkatkan total impor secara riil.
Di satu sisi pemulihan ekonomi memang diharapkan. Namun di sisi lain juga membawa konsekuensi terhadap jebolnya CAD. Berbagai perkiraan ekonom menunjukkan bahwa CAD setidaknya bakal tembus 1% PDB tahun 2021.
Kombinasi pelebaran CAD dan defisit fiskal yang besar atau sering disebut sebagai twin deficits harus diwaspadai benar oleh Indonesia karena bakal menekan nilai tukar rupiah. Ada peluang rupiah bakal terdepresiasi di hadapan dolar AS.
Adanya isu pengetatan moneter di Negeri Paman Sam lewat tapering juga menjadi downside risk bagi mata uang Indonesia. Semakin tingginya peluang tapering bakal memicu arus modal keluar dari negara berkembang termasuk Indonesia. Rupiah yang sensitif terhadap arus modal portofolio akan menjadi rawan.
Gejolak yang tinggi dan pelemahan rupiah yang tajam adalah risiko bagi perekonomian makro karena juga berpeluang menyebabkan imported inflation serta minat investor untuk menanamkan modalnya ke dalam negeri menjadi berkurang.
TIM RISET CNBC INDONESIA