Junta Militer Myanmar Buka Sekolah, Guru & Murid Ogah Hadir

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
01 June 2021 14:20
An anti-coup protester flashes the three-finger salute during a demonstration at Yangon, Myanmar on Wednesday, April 21, 2021. Aid workers and activists are warning Myanmar's political upheavals risk causing a regional refugee crisis as the strife following a February coup displaces growing numbers of people who have lost their livelihoods. (AP Photo)
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekolah-sekolah di Myanmar dijadwalkan akan dibuka pada hari ini, Selasa (1/6/2021) untuk pertama kalinya sejak junta militer merebut kekuasaan. Namun para guru dan siswa menentangnya.

Junta militer bersikeras sekolah dibuka pada hari Selasa setelah setahun absen karena Covid-19, tapi banyak pendidik telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.

Empat bulan kekacauan terjadi di Myanmar atas penggulingan kekuasaan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi sejak Februari lalu, dengan lebih dari 800 orang tewas oleh pasukan keamanan dan pemogokan nasional yang melumpuhkan ekonomi.

Guru sekolah umum mengenakan seragam hijau dan putih yang diamanatkan oleh Kementerian Pendidikan Myanmar untuk melakukan aksi massa di jalanan, bergabung dengan pekerja kereta api, dokter, dan pegawai negeri.

"Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka," kata Shwe Nadi, seorang guru dari ibukota komersial Yangon kepada seperti dilansir dari AFP, Selasa (1/6/2021). Namanya telah diubah demi keselamatannya. "Saya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda kepada siswa."

Pria berusia 28 tahun itu dipecat karena mendukung gerakan pembangkangan sipil, dia merupakan salah satu dari ribuan guru dan akademisi yang dipecat junta.

"Tentu saja saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meski tidak dibayar dengan baik, kami bangga menjadi guru karena orang lain menghormati kami," ujarnya.

Nu May- bukan nama sebenarnya, yang tinggal di negara bagian Mon Selatan juga akan ikut menentang.

Guru sekolah dasar itu kehilangan gajinya selama berbulan-bulan setelah bergabung dengan boikot nasional, tetapi mengatakan, "Jiwaku murni karena dia berpartisipasi dalam pemogokan."

"Ketika saya melihat bagaimana mereka telah membunuh banyak orang, saya merasa saya tidak ingin menjadi guru mereka lagi," tambahnya.

Beberapa dari mereka yang tewas dalam tindakan keras junta berusia sekolah dasar, dan kelompok amal Save the Children mengatakan korban tewas termasuk 15 anak di bawah usia 16 tahun.

Sementara itu, media yang dikelola Junta dalam beberapa hari terakhir memuat gambar pejabat yang menonton pendaftaran sekolah dan menjanjikan bahwa orang tua akan puas dengan kembalinya pembukaan sekolah

Para siswa di sebuah sekolah dekat ibu kota Naypyidaw membuka upacara setpiece untuk menandai masa jabatan baru dengan membawakan lagu 'Pekan Pendaftaran Nasional' di depan menteri pendidikan rezim, menurut surat kabar negara Global New Light of Myanmar.

Tetapi di salah satu sekolah menengah di wilayah Sagaing tengah, sebuah slogan yang dipulas dengan cat merah di bagian depan gedung mendesak anggota staf untuk menjauh.

"Kami tidak ingin ada guru perbudakan militer," demikian tayangan gambar yang dimuat media setempat. "Kami tidak ingin guru yang berkhianat."

Mahasiswa universitas adalah pendorong utama aktivisme politik di bawah hampir lima dekade penguasa militer sebelumnya, yang dengan kasar menekan tanda-tanda perbedaan pendapat publik.

Banyak siswa saat itu terbunuh, dipenjara atau dikeluarkan, dan universitas ditutup selama beberapa tahun.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kata Ahli Soal Pentingnya Kesiapan Guru Mengajar Era Digital

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular