
Bos BMKG Bicara Skenario Gempa M 8,7 & Tsunami 30 Meter Jatim

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menghadiri webinar kajian dan mitigasi gempabumi dan tsunami di Jawa Timur pada, Jumat (28/5/2021). Dalam kesempatan itu, Dwikorita bicara soal skenario terburuk gempabumi M 8,7 hingga genangan akibat tsunami setinggi 30 meter di sejumlah wilayah di provinsi tersebut.
Mengawali paparannya, Dwikorita mengungkapkan ada tren peningkatan gempabumi di berbagai daerah, termasuk Jawa Timur. Bahkan, dia juga memaparkan skenario terburuk gempabumi di provinsi itu bisa mencapai M 8,7 sehingga bisa memicu tsunami.
"Jadi memang sejak awal tahun kami melakukan, sebelum ada kejadian gempa di Jawa Timur yang sudah dua kali ini, tepatnya akhir tahun kami melakukan evaluasi di wilayah Indonesia ini mengalami peningkatan kejadian gempa bumi di beberapa daerah," ujar Dwikorita.
"Jadi kami melakukan evaluasi di beberapa klaster di wilayah Indonesia ini mengalami peningkatan kegempaan, terutama klaster antara lain yang ada di Jawa Timur atau tepatnya lepas pantai selatan Jawa Timur dan juga klaster di selatan Selat Sunda, selatan Jawa Barat, kemudian juga selatan Jawa Tengah serta sebelah barat kepulauan Mentawai yang dapat berdampak ke Sumatra Barat, terutama klaster-klaster tersebut," ujarnya.
Dwikoritas menuturkan secara umum terjadi lompatan kejadian gempa di tanah air dengan berbagai magnitudo. Sejak tahun 2008, rata-rata kejadian 4.000-5.000. Namun, sejak 2017, jumlah kejadian menjadi lebih dari 7.000 kali.
"Bahkan 2018 meningkat 11.900 kali dan masih bertahan di atas 11.000 di tahun 2019. Tahun 2020 masih di atas rata-rata 8.258. Namun kalau kita lihat klastering-nya, termasuk wilayah lepas pantai Jawa Timur," kata Dwikorita.
Ia bilang kalau kekuatan gempa lebih banyak berada dibawah M 5.0. Artinya, kekuatan gempa di atas M 6.0 tidak sebanyak itu.
Namun, Dwikorita mengungkapkan hal itu menjadi perhatian. Sebab, gempabumi besar dan merusak seperti di Aceh (2004) hingga Yogyakarta (2006) berawal dari rentetan gempabumi kecil.
"Itu semua tidak mendadak terjadi gempa seketika. Semua selalu diawali dengan gempa-gempa kecil. Kadang yang bisa merasakan hanya alat kurang dari M 5.0, bahkan kurang dari M 4.0. Tapi jumlahnya, frekuensinya, dalam satu bulan bisa lebih dari 100 kali," ujar Dwikorita.
"Fenomena itu yang saat ini sedang kami amati, kami analisis, dan ternyata di wilayah Jawa Timur itu pun juga mengalami peningkatan gempa-gempa kecil sebelum terjadinya gempa yang berkekuatan M 6.0 kemarin. Jadi kami sudah curiga sejak akhir tahun," lanjutnya.
Khusus di Jawa Timur, Dwikorita menyebut selama ini rata-rata kejadian gempabumi mencapai 300-400 kali sebulan. Namun, sejak Januari 2021, jumlahnya sudah meningkat menjadi rata-rata 600 kali sebulan.
"Nah sehingga kami menyusuri pantai mulai Jatim sampai Selat Sunda mencek yang kami khawatirkan dari catatan sejarah gempa-gempa yang kekuatannya di atas M 7,0 diprediksi skenario terburuk kekuatannya M 8,7. Kekuatan M 8,7 ini bisa membangkit tsunami," kata Dwikorita.
"Sehingga yang kami cek adalah kesiapan aparat setempat dan juga pemerintah daerah setempat serta kesiapan sarana prasarana untuk evakuasi apabila terjadi tsunami. Itulah yang perlu kami sampaikan dari apa kajian dan survei yang kami lakukan," lanjutnya.
Dwikorita menjelaskan di Jawa Timur, dari sekian ratus kali gempabumi, ada zona yang kosong alias seismic gap. Zona-zona kosong itu dikhawatirkan lantaran belum melepaskan energi sebagai gempa.
"Inilah yang kami jadikan skenario kita ambil kemungkinan magnitudo tertinggi ini juga berdasarkan kajian dari Pusat Studi Gempa Nasional kemungkinan M 8,7, dan itu yang menjadi dasar skenario untuk memprediksi kemungkinan terjadinya tsunami berapa ketinggian gelombang, kapan waktu datangnya, dan jarak masuknya berapa. Sehingga kami melakukan pemetaan bahaya tsunami juga," katanya.
Eks rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengungkapkan, ada sembilan kejadian gempabumi merusak sejak 1936 hingga 1972. Kekuatan gempabumi itu merusak lantaran intensitas guncangan mencapai VII.
"Itu sangat kuat. Artinya kalau masa lalu sudah pernah terjadi ini kemungkinan masih bisa terjadi dalam waktu-waktu ke depan. Inilah yang kita sedang bersiap-siap karena di Jatim itu juga ada zona-zona patahan aktif yang ada di situ patahan aktif Kendeng, Pasuruan, nah zona-zona ini mohon pemerintah daerahnya perlu mewaspadai Probolinggo, ini juga RMKS di sekitar Rembang sampai ke Madura ini," ujar Dwikorita.
Kemudian, lanjut dia, tsunami pernah terjadi sebanyak enam kali di Jawa Timur. Kali terakhir terjadi pada 2 Juni 1994 di pesisir pantai selatan Jawa Timur, termasuk Banyuwangi.
Dari sejarah maupun data yang terekam, Dwikorita menjelaskan BMKG menyusun simulasi dan pemodelan secara sistematis perihal potensi tsunami Jawa Timur. Hasilnya adalah potensi tinggi maksium berada di Kabupaten Trenggalek mencapai 26-29 meter. Sementara waktu tiba tercepat di Kabupaten Blitar selama 20-24 menit.
BMKG, menurut Dwikorita, juga melakukan pemetaan terhadap kabupaten yang berpotensi mengalami genangan tinggi akibat tsunami. Berikut adalah perinciannya:
Pantai Teluk Sumbreng Trenggalek: 22 Meter (maksimal)
Pantai Popoh Tulung Agung: 30 Meter (maksimal)
Pantai Muncar Banyuwangi: 18 Meter (maksimal)
Pantai Pancer Banyuwangi: 12 Meter (maksimal)
Pantai Teluk Pacitan: 22 Meter (maksimal)
Pantai Pasirian Lumajang: 18 meter (maksimal)
Pantai Tempursari Lumajang: 18 meter (maksimal)
"Kami juga melakukan verifikasi ke lapangan, jadi terima kasih sekali ibu gubernur, aparat pemerintah daerah sangat siap juga sigap, dan smart. Nah ini kami selalu bersama di lapangan, bahkan didampingi tokoh ulama," ujar Dwikorita.
"Apa yang kita lihat bersama, dari kesiapan aparat, memang sudah siap ibu. Terus terang kami bangga. Tidak banyak BPBD yang sesiap di Jatim dan juga bupatinya atau walikotanya itu sangat peduli, sangat peduli, kami berterima kasih," lanjutnya.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah daerah setempat dalam mengantisipasi bencana-bencana ini? Dwikorita mengungkapkan pemda perlu mempersiapkan kesiapan jalur evakuasi.
"Itu ternyata cukup banyak hambatan. Ada sungai harus menyeberang. Ada juga jalur evakuasi yang sebetulnya seperti Pacitan itu jalurnya sudah bagus tetapi harus menyeberangi sungai. Sudah siap juga aparatnya sudah siap, dan juga pemdanya sangat peduli," ujarnya.
"Jadi poinnya agar jalur ini dapat ditingkatkan lebih memadai fasilitas sarana prasarana dan tadi waktu datangnya tsunami itu terlalu cepat bila ada beberapa wilayah yang datangnya tsunami terlalu cepat dibandingkan dengan jarak tempat evakuasi sementara. Sehingga kalau berlari itu bisa terkejar," lanjutnya.
Menurut Dwikorita, hal itu perlu ditindaklanjuti. Entah itu melibatkan pemerintah provinsi maupun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"Karena misalnya untuk penyiapan shelter ini kan perlu untuk segera disiapkan dan juga penghijauan di pantai juga," kata Dwikorita.
Wanita yang pernah menempuh studi di Unversitas Leeds itu bilang ada salah satu bupati di pesisir selatan Jawa Timur yang sangat cemas dan mengkhawatirkan penambangan pasir di pantai. Pihak pemkab tidak berdaya mengendalikannya.
"Ini kan merendahkan elevasi pantai. Tadi tanpa di tambang kan sudah 18 meter, kalau ditambang masuk ke bawah lagi, pantainya menjadi lebih rendah, bisa lebih rendah dari muka air laut, jadi nanti risikonya semakin besar. Jadi itu mohon juga dukungan agar penambangan ini benar-benar menjadi perhatian untuk mengurangi risiko bahaya tsunami," ujar Dwikorita.
Tantangan lain, menurut dia, adalah abrasi pantai. Ancaman tsunami akan lebih tinggi apabila pantai mengalami abrasi.
"Akan menjadi lebih pendek, lebih rendah, genangan akan menjadi, artinya pantai akan lebih tenggelam," kata Dwikorita.
Khusus untuk sumber daya manusia (SDM), dia menilai perlu ada latihan sesering mungkin. Sementara dari sisi prasarana perlu ada penyempurnaan rambu hingga rencana kontijensi perlu disempurnakan dengan SOP yang lebih jelas berdasarkan skenario terburuk peta bahaya tsunami.
Konstruksi bangunan juga menjadi perhatian BMKG. Menurut Dwikorita, struktur bangunan yang ada tidak disiapkan untuk tahan gempa.
"Juga ada kondisi tanah yang memang lunak. Nah ini potensi untuk mengalami amplifikasi atau penguatan guncangan bahkan bisa juga mengalami likuefaksi. Artinya standar bangunan tahan gempa perlu diterapkan kemudian juga audit bangunan-bangunan strategis seperti sekolah, mal, kantor-kantor untuk memastikan tahan terhadap guncangan hingga mencapai M 8,7," ujar Dwikorita.
"Tata ruang ini juga perlu memperhatikan zona rawan gempabumi dan tsunami dengan skenario terburuk dan juga pengendalian pencegahan kerusakan lahan," lanjutnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Worst Scenario Gempabumi Jatim: Kekuatan 8,7 & Memicu Tsunami
