
Pandemi, Shell Bakal Susah Cari Investor Pengganti di Masela

Jakarta, CNBC Indonesia - Royal Dutch Shell Plc (Shell) melalui Shell Upstream Overseas berencana hengkang dari proyek gas raksasa Blok Masela, Maluku sejak beberapa tahun lalu.
Namun hingga kini, Shell belum juga memperoleh investor penggantinya dan proses pencarian investor baru dikabarkan masih terus berlangsung.
Lantas, di tengah pandemi saat ini apakah Shell tidak kesulitan dalam mencari calon investor pengganti untuk proyek Blok Masela ini?
Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, berpandangan jika Shell bakal susah mendapatkan investor pengganti di Blok Masela.
Dia berpandangan, rencana keluarnya Shell dari Blok Masela mengindikasikan jika proyek tersebut saat ini, dengan berbagai kondisi yang ada, kalah bersaing dengan portofolio Shell.
"Dalam hal rencana Shell untuk keluar dari Blok Masela, yang harus dilihat menurut saya adalah bahwa hal itu merupakan salah satu indikasi bahwa proyek itu saat ini, dengan berbagai kondisi yang ada, kalah bersaing dalam portofolio investasi mereka. Tidak lagi dipandang menarik secara investasi oleh mereka," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (25/05/2021).
Hal yang sama menurutnya juga bisa berlaku bagi perusahaan migas lainnya. Semua investor memiliki prioritas di dalam portofolio investasinya. Apalagi, lanjutnya, kini dunia berlomba-lomba menuju transisi energi ke eneri baru terbarukan (EBT), sehingga mencari mitra untuk proyek bidang energi fosil ini bukan lah pekerjaan mudah.
"Semua memiliki prioritas di dalam portofolio investasinya. Sehingga, dalam konteks persaingan investasi hulu migas global yang ketat dan ke depan juga akan semakin ketat karena adanya tekanan penetrasi dari tuntutan transisi energi dan pengembangan energi terbarukan, mencari pengganti Shell (jika memang Shell benar-benar keluar dari Blok Masela), itu bukan hal yang sederhana," jelasnya.
Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengatakan, pihaknya menargetkan setidaknya pada akhir 2021 ini Shell akan memberikan kepastian investor baru yang akan menggantikannya menjadi pemegang hak partisipasi (participating interest/ PI) di Blok Masela ini.
Jika sampai akhir tahun belum ada penggantinya, maka dikhawatirkan ini akan memperlambat pengerjaan proyek.
"Ya mungkin akan slowing down, barangkali ya," ujarnya saat ditanya bagaimana dampak terhadap pengembangan proyek Blok Masela bila Shell tak kunjung mendapatkan investor pengganti sampai akhir tahun ini, Selasa (25/05/2021).
Julius tidak membantah saat ditanya apakah pandemi ini berdampak pada sulitnya mencari mitra baru setelah rencana hengkangnya Shell dari proyek gas raksasa senilai US$ 19,8 miliar atau sekitar Rp 285 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$) ini.
"Barangkali begitu ya. Itu business-to-business (B to B), antar investor ya," ujarnya.
Sebelumnya, VP Corporate Services Inpex Masela Henry Banjarnahor mengungkapkan bahwa pihak Shell telah melakukan penghitungan ulang mengenai keterlibatan mereka di proyek tersebut.
Kurang kompetitifnya proyek ini dibandingkan dengan portofolio proyek Shell di negara lain menjadi salah satu penyebabnya.
"Mereka (Shell) melihat global portofolio mereka di seluruh dunia dan mereka menganggap bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan mereka, jadi mereka mengutamakan itu," kata Henry saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Senin (24/08/2020).
Seperti diketahui, saat ini Shell masih memiliki 35% hak partisipasi di Blok Masela, sedangkan sisanya 65% dimiliki oleh Inpex Masela Ltd. Adapun operator blok ini yaitu Inpex Masela Ltd.
Proyek senilai US$ 19,8 miliar atau sekitar Rp 285 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$) ini ditargetkan memproduksi 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) gas atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari. Proyek ini diharapkan bisa beroperasi pada kuartal kedua 2027.
Proyek gas Masela ini merupakan salah satu proyek strategis nasional yang tentunya dinanti-nanti. Terlebih, proyek ini sudah direncanakan sejak 2008 ketika Inpex sebagai operator Blok Masela menyerahkan Rencana Pengembangan (Plan of Development/ POD) I kepada pemerintah atau regulator hulu migas saat itu BP Migas - yang kini telah berganti menjadi SKK Migas.
Adapun Kontrak Bagi Hasil (PSC) Inpex dengan pemerintah Indonesia di Blok Masela ini telah ditandatangani sejak 1998. Pada 2000 akhirnya Inpex menemukan cadangan raksasa di Lapangan Abadi dengan potensi cadangan gas 6,97 triliun kaki kubik (TCF).
Terus telatnya proyek ini sampai akhirnya saat menyetujui Revisi POD I pada 20 Juni 2019, pemerintah juga sekaligus menyetujui permohonan untuk alokasi tambahan waktu selama 7 tahun dan perpanjangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/ PSC) Blok Masela selama 20 tahun hingga 2055. Semula, Kontrak Bagi Hasil Inpex di Blok Masela berakhir pada 2028.
Namun di tengah kondisi pandemi, belum ada kepastian pembeli secara penuh dari rencana kapasitas produksi LNG, serta diwarnai rencana hengkangnya salah satu pemegang hak partisipasi, yakni Shell, bukan tak mungkin ini bisa berdampak buruk pada proyek ini. Siap-siap, Indonesia harus menerima kabar buruk lagi dengan kembali mundurnya proyek gas raksasa ini.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pandemi, Apa Kabar Shell Cari Investor Pengganti di Masela?