
Sering Dibuka Ditutup, Negara Ini Alami Double Dip Recession

Jakarta, CNBC Indonesia - Buka tutup perekonomian alias lockdown hanya akan membuat output mengalami fluktuasi. Setelah kontraksi ada periode ekspansi tetapi setelah itu pertumbuhan kembali ke zona negatif. Fenomena ini disebut sebagai double dip recession.
Zona Euro menjadi salah satu contoh blok ekonomi terbesar di dunia yang mengalami double dip recession. Saat awal pandemi Covid-19 merebak awal tahun 2020, produk domestik bruto (PDB) Euro Area mengalami kontraksi.
Penurunan aktivitas ekonomi semakin parah pada kuartal kedua. Ekonomi semakin anjlok dalam. Sepanjang April-Juni 2020 output perekonomian Euro Area minus belasan persen.
Negara-negara dengan sumbangsih PDB terbesar seperti Spanyol, Italia, Prancis dan Belanda ikut minus belasan persen. Walaupun tak sedalam keempat negara barusan, PDB Jerman turun hampir 10%. Inggris yang sudah bercerai dari EU paling parah minusnya karena hampir 20% sendiri.
Lockdown mulai dilonggarkan pada paruh kedua tahun lalu. Mobilitas masyarakat mulai terpantau membaik walau jauh dari kata pulih. Ekonomi EU pun mengalami ekspansi besar-besaran. Tadinya negatif belasan persen tumbuh positif 12,5% di kuartal ketiga.
Namun ketika ekonomi dibuka serangan kedua wabah Covid-19 melanda Eropa. Mau tak mau negara kembali menerapkan lockdown. Ekonomi Eropa yang sangat bergantung pada jasa dan juga perdagangan antar negara anggota pun kembali minus.
Kasus di Zona Euro kembali melandai di bulan kedua tahun 2021 seiring dengan diberlakukannya lockdown dan vaksinasi yang terus digeber. Namun varian baru yang muncul dari Inggris yang meluas ke berbagai negara juga diikuti dengan kenaikan kasus.
Belum bisa dipastikan apakah mutan Covid-19 menjadi pemicu utama kenaikan kasus infeksi. Namun buka tutup perekonomian membuat resesi kambuhan terjadi. Pada kuartal pertama tahun 2021 output masih terkontraksi. Padahal di kuartal satu tahun 2020 sudah minus. Inilah double dip recession itu sendiri.
Pada periode Januari-Maret 2021, ekonomi Zona Euro diramal minus 0,4%. Namun kenyataannya tertekan lebih dalam. PDB menyusut 0,6%. Ekonomi diperkirakan tumbuh 2,1% pada kuartal kedua dibandingkan dengan 2,3% yang diprediksi bulan lalu.
Kemudian PDB diharapkan meningkat masing-masing 1,9% dan 1,2% di Q3 dan Q4, dibandingkan dengan perkiraan 1,9% dan 1,0% di Januari. Setelah menyusut 6,9% pada tahun 2020 secara tahunan, ekonomi Zona Euro diramal tumbuh 4,3% tahun ini dan 4,0% berikutnya.
Ada penurunan proyeksi sebesar masing-masing 20 bps dan 10 bps dibandingkan dengan 4,5% dan 3,9% yang diperkirakan sebelumnya. Survei yang dilakukan Reuters menunjukkan bahwa mayoritas ekonom melihat bahwa masih adan downside risk atau risiko penurunan dari peramalan PDB yang dilakukan oleh bank sentral ECB.
Namun mayoritas ekonom masih optimis bahwa PDB Zona Euro bakal pulih ke level sebelum pandemi pada pertengahan tahun 2022 mendatang.
(twg/twg)
Next Article Jepang Resesi, Bukan Ekonomi Terbesar ke-3 Dunia Lagi!