Jakarta, CNBC Indonesia - Tren super siklus atau membubungnya harga sejumlah komoditas tambang saat ini nyatanya memang membawa keuntungan bagi Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor barang tambang. Hal ini dapat terlihat dari indeks harga komoditas RI yang melonjak.
Berdasarkan data Bank Indonesia, setidaknya ada lima komoditas tambang yang indeks harganya melonjak pada kuartal I 2021 ini, antara lain batu bara, timah, tembaga, nikel, dan aluminium. Indeks harga ini menunjukkan apakah komoditas tersebut mengalami kenaikan atau penurunan harga dan seberapa besar perubahannya.
Pada kuartal I 2021, indeks harga tembaga mencapai 50,3, lebih tinggi dibandingkan kuartal IV 2020 yang sebesar 21,6 atau bahkan periode yang sama tahun lalu atau kuartal I 2020 yang -7,8.
Sementara indeks batu bara mencapai 19,5 pada kuartal I 2021, jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2020 yang -8,0. Sementara indeks harga nikel membubung menjadi 37,9 pada kuartal I 2021 dari 3,8 pada periode yang sama tahun lalu.
Indeks timah sebesar 46,1 pada kuartal I 2021, meroket dibandingkan periode yang sama tahun lalu -17,2. Adapun aluminium sebesar 22,9 pada kuartal I 2021, meningkat dibandingkan -5,8 pada pada kuartal I 2020.
Bila dibandingkan dengan indeks harga komoditas ekspor Indonesia pada kuartal I 2021 23,7, artinya indeks harga komoditas tambang tersebut rata-rata melampaui indeks harga komoditas ekspor negara ini.
Sedangkan data per April 2021 menunjukkan, indeks harga tembaga 38,4, batu bara 44,8, nikel 25,9, timah 40,8, dan aluminium 23,2. Adapun indeks harga komoditas ekspor Indonesia per April 2021 29,0.
Peningkatan indeks harga ini berdampak pada penerimaan negara dari sektor pertambangan. Hal ini terlihat dari realisasi penerimaan negara dari pertambangan mineral dan batu bara di mana hingga awal Mei 2021 ini telah mencapai Rp 19,15 triliun atau sekitar 49% dari target tahun ini sebesar Rp 39,01 triliun.
Hal tersebut berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per Selasa (18/05/2021).
Berdasarkan data Bank Mandiri, harga sejumlah komoditas pada 2021 ini diproyeksikan lebih tinggi dibandingkan 2020 lalu. Harga batu bara misalnya, diproyeksikan rata-rata mencapai US$ 87,6 per ton, meningkat dibandingkan harga rata-rata pada 2020 yang sebesar US$ 60,3 per ton.
Lalu, harga nikel diperkirakan mencapai US$ 15.215 per ton pada 2021 dari US$ 13.862 per ton pada 2020. Sementara emas diperkirakan mencapai US$ 2.084 per troy ons pada 2021 dari US$ 1.772 per troy ons pada 2020.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan peningkatan produksi sejumlah komoditas tambang pada 2021 ini.
1. Batu Bara
Adanya lonjakan harga batu bara sejak awal tahun ini juga turut dimanfaatkan pemerintah dengan menaikkan target produksi batu bara pada tahun ini sebesar 75 juta ton menjadi 625 juta ton dari rencana semula 550 juta ton. Target tahun ini juga meningkat dibandingkan realisasi produksi pada 2020 yang sebesar 565,31 juta ton.
Adapun kenaikan target produksi sebesar 75 juta ton tersebut ditujukan untuk ekspor. Dengan demikian, di tengah kondisi harga batu bara yang terus membubung, maka Indonesia bisa semakin diuntungkan dengan peningkatan produksi ini. Pasalnya, ini bisa berdampak pada peningkatan penerimaan negara dari sisi royalti, pajak penghasilan perusahaan, dan lainnya.
2. Nikel
Indonesia memproduksi puluhan juta ton bijih nikel per tahunnya, sehingga seharusnya mendulang emas dari kenaikan harga nikel ini.
Untuk nickel pig iron (NPI), pemerintah menargetkan produksi dan penjualan sebesar 901.080 ton pada 2021 ini, naik dari realisasi produksi pada 2020 yang sebesar 860.484,35 ton dan penjualan 179.697,18 ton.
Sementara produksi dan penjualan feronikel pada tahun ini ditargetkan naik menjadi 2.107.071 ton dari produksi pada 2020 yang sebesar 1.479.970,98 ton.
Sedangkan untuk nickel matte pada 2021 ini ditargetkan diproduksi dan dijual 78 ribu ton. Sementara produksi nickel matte pada 2020 mencapai 91.704,76 ton dan penjualan 72.845,53 ton.
3. Tembaga
Kementerian ESDM menargetkan produksi katoda tembaga pada tahun ini sebesar 291.000 ton dan penjualan 296.000 ton.
Jika harga jual rata-rata tembaga mencapai US$ 10.000 per ton, artinya Indonesia bisa mendapatkan penghasilan US$ 2,96 miliar atau sekitar Rp 41,4 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) dari penjualan katoda tembaga.
Itu pun baru hasil penjualan logam atau katoda tembaga, belum termasuk konsentrat tembaga yang masih diekspor PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
PT Freeport Indonesia, sebagai produsen tembaga terbesar RI, tahun ini menargetkan produksi konsentrat tembaga mencapai 1,4 miliar pon, meningkat dari produksi di 2020 yang sebesar 800 juta pon.
Adapun katoda tembaga ini diproduksi oleh PT Smelting, yang mengoperasikan smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur. PT Smelting ini dimiliki oleh Mitsubishi Materials Corporation (MMC) dan PT Freeport Indonesia.
Smelter ini mengolah 1 juta metrik ton konsentrat tembaga per tahun menjadi katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun. Smelter ini mengolah 40% dari produksi konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia.
Berdasarkan data Freeport McMoran, produksi bijih tembaga PT Freeport Indonesia dari Grasberg Block Cave dan tambang bawah tanah Deep Mill Level Zone (DMLZ) diperkirakan mencapai 98.5000 metrik ton bijih per hari.
4. Emas
Tahun ini pemerintah menargetkan produksi emas mencapai 81,90 ton, lebih tinggi dari realisasi produksi pada 2020 lalu yang hanya 28,88 ton.
Salah satu produsen emas di Indonesia yaitu PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Pada kuartal I 2021, Antam telah menjual emas sebesar 7,41 ton (238.269 troy ons), naik 45% dibandingkan periode yang sama pada 2020.
Sementara PT Freeport Indonesia menargetkan produksi emas pada 2021 ini mencapai 1,4 juta ons, lebih tinggi dari 2020 yang hanya sebesar 800 ribu ons.