
Sri Mulyani-nya AS Desak Pajak Baru, Tak Bisa Ngemplang Lagi!

Pemerintah Indonesia pun sebenarnya sempat mewacanakan minimum tax. Namun konteksnya agak berbeda.
Saat itu adalah 2016, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro masih menjabat sebagai Menteri Keuangan. Kini Bambang adalah Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) setelah sempat 'mampir' mengepalai Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas).
Saat itu, Bambang gusar karena cukup banyak perusahaan (terutama asing) yang telah bertahun-tahun mencari nafkah di Indonesia tetapi terus-terusan mengaku rugi. Akibatnya, perusahaan-perusahaan itu lolos dari kewajiban membayar pajak.
"Saya tahu ada PMA (Penanaman Modal Asing) tidak pernah bayar pajak selama masa hidup Indonesia. Ini tidak hanya 1-2 tahun tetapi 20 tahun, karena mereka sebut membukukan rugi.
"Hebatnya 20 tahun rugi nggak pernah lay off (memecat) karyawan, tetap melakukan ekspansi, semuanya jalan. Mereka bilang rugi tapi nggak pernah tutup," ungkap Bambang kala itu.
Oleh karena itu, KementerIan Keuangan mewacanakan pemberlakuan pajak minimal bagi perusahaan di Indonesia. Konsepnya diberi nama Alternative Minimum Tax (AMT). Namun wacana ini menguap dan belum pernah muncul lagi.
Konsep AMT Indonesia memang agak berbeda dengan apa yang diserukan Yellen, tetapi tujuannya sama yaitu menggenjot setoran pajak dan mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat (level of playing field). Perusahaan-perusahaan yang tidak membayar pajak (atau membayar dengan 'tarif promosi') tentu membuat mereka lebih kompetitif ketimbang perusahaan-perusahaan yang patuh.
Setidaknya ada dua kerugian dari aktivitas semacam ini. Pertama, penerimaan negara menjadi tidak optimal sehingga pembiayaan pembangunan akan mengandalkan utang. Kedua, perusahaan-perusahaan yang patuh tentu tergoda untuk menjadi 'pembangkang' karena ada keuntungan material dari penghindaran pajak.
Kalau semakin banyak perusahaan yang menjadi pengemplang pajak, maka bisa dibayangkan seperti apa compang-campingnya keuangan negara. Utang bakal kian membengkak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)