
Jakarta-Bandung-Bogor Macet di Mana-Mana, Mulai Normal Nih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan kendaraan di akhir pekan dalam beberapa waktu terakhir mulai mengalami kepadatan di berbagai sudut kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung dan lainnya pada akhir pekan lalu.
Di Bogor misalnya, Jalan Padjadjaran yang merupakan jalur utama di kota tersebut terlihat lebih padat kendaraan dibanding waktu biasanya pada sore hari akhir pekan lalu, begitu pun banyak pengunjung yang mulai mendatangi sejumlah kafe hingga kawasan Puncak. Kondisi serupa juga terjadi di Bandung hingga Jakarta.
Benarkah sudah terjadi eskalasi pergerakan masyarakat yang mulai jenuh setelah setahun pandemi? Bagaimana imbasnya pada pendapatan bisnis seperti sektor hotel dan restoran?
Wakil Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Restoran, Emil Arifin mengatakan meski ada banyak pergerakan warga di akhir pekan, tapi pendapatan bisnis restoran masih jauh dari skala normal. Meski ia mengaku ada peningkatan penjualan tapi tak signifikan.
"Belum signifikan, ada kenaikan cuma kecil, ada sih tapi maksimum hanya 10%," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (29/3/21).
Kenaikan itu membuat sedikit restoran lebih bisa bernapas. Kerja sama dengan supplier yang selama ini terganggu akibat ketidakmampuan membayar mulai dirajut kembali. Untuk diketahui, restoran banyak bekerjasama dengan vendor bahan baku makanan demi beroperasi, misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, telur hingga daging.
"Ini aja dengan supplier lama baru dibayarin dikit-dikit," kata Emil.
Selama ini, sulit bagi pelaku usaha untuk membayarnya karena sudah menanggung banyak beban operasional, seperti listrik, air termasuk gaji karyawan. Sementara pendapatan jauh dari kata normal ketika di masa pandemi karena kebiasaan orang untuk pergi ke restoran tidak seperti dulu, apalagi ada pembatasan kapasitas maksimum 50%.
"Misalnya aturan kapasitasnya 50%, tapi 50% fixed cost atau beban pasti operasional dibebankan Pemerintah, itu baru aman. Bukan relaksasi pajak ya, karena pengusaha butuh uang cash," sebutnya.
Tren Baru
Emil mengatakan saat ini ada tren baru di masyarakat. Sebelum pandemi datang, masyarakat biasa berkumpul di restoran atau kafe. Namun kini, tidak sedikit yang memilih untuk berkumpul di salah satu tempat tinggal rekan dan memesan katering atau pesan online.
"Yang sangat saya khawatir soal behavior orang. Ada yang terasa catering mulai bergerak, karena orang-orang dibanding di resto dia bikin di rumah, acara di rumah, gathering. Jadi terasa betul perubahannya," kata Emil.
Harapan sektor restoran untuk pulih juga tidak mudah jika melihat adanya regulasi kapasitas maksimum 50%. Selain ada pembatasan, daya beli masyarakat juga tidak seperti dulu. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) membuat daya beli menurun.
"Mal masih sepi, orang masih WFH. Yang bahaya demand nggak ada karena buying power turun, itu yang sangat dikhawatirkan kita. Nanti kalau normal juga naiknya paling 10%-15%, karena bisa jadi yang dikatakan new normal orang lifestyle-nya berubah," sebut Emil.
Perubahan ini tidak bisa terhindarkan, dampaknya banyak restoran yang akhirnya tutup. Data PHRI di akhir tahun lalu, sudah ada lebih dari 1.000 restoran yang harus berkompromi dengan penutupan, bahkan tidak sedikit yang memilih gulung tikar selamanya.
"Rata-rata dari restoran yang gede-gede sudah 20%-25%, misal yang punya 30 outlet, 25% di antaranya tutup. Kalau yang kecil-kecil bertahan selama ini mungkin ada yang udah tutup, masuk ke online ada juga," sebutnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penyekatan Larangan Mudik, Ada Kerumunan Orang di Cikarang