Jakarta, CNBC Indonesia - Ada kabar mengejutkan yang datang dari Texas Amerika Serikat (AS). Gubernur Texas Gregg Abbot mengumumkan bahwa penggunaan masker sudah tidak diperlukan lagi dan sektor usaha diperbolehkan untuk beroperasi dengan kapasitas penuh.
Amerika memang agresif dalam menyuntikkan vaksin ke masyarakatnya. Sampai dengan awal Maret saja sudah 15,64% dari total populasinya disuntik vaksin. Memang jumlah orang yang divaksinasi secara penuh lebih sedikit karena satu orang butuh dua dosis, tetapi kasus infeksi drop.
Tren kasus infeksi harian di AS ambles 64% sejak awal tahun. Tingkat keketatan (stringecy) pun turun. Perlahan-lahan AS mulai membuka kembali ekonominya. Sektor manufaktur dan jasa di AS terus menunjukkan kondisi yang ekspansif.
Namun di Eropa beda cerita dengan AS. Kebanyakan negara-negara di Eropa masih melanjutkan pembatasan dengan ketat. Apalagi setelah varian baru virus Corona yang diklaim lebih menular terus merebak.
Di Perancis, lockdown yang baru diterapkan di Riviera. Di Jerman penggunaan masker diwajibkan di toko dan transportasi umum. Di Cheko bahkan karantina wilayah diperketat.
Belgia dan Spanyol lanjutkan karantina. Belgia sampai April sedangkan Spanyol sampai dengan Mei. Di Eropa ada beberapa negara yang sudah mulai melakukan pelonggaran.
Di Denmark sejak awal bulan Maret beberapa toko mulai diperbolehkan buka, begitu juga aktivitas umum di luar ruangan seperti olahraga juga mulai diizinkan. Namun tetap ada batasan maksimal 25 orang.
Sementara di Belanda pelajar pada tingkatan pendidikan menengah mulai diperbolehkan masuk ke sekolah tetap dengan pembatasan waktu. Di Italia juga menempuh kebijakan yang serupa terutama untuk mereka yang menempuh pendidikan tinggi.
Bagaimanapun juga meski vaksinasi Covid-19 sudah digenjot di banyak negara, tetapi apabila pelonggaran yang dilakukan terlalu kebablasan hanyalah akan menimbulkan konsekuensi berupa gelombang infeksi lanjutan yang tak berkesudahan.
Masih banyak hal yang belum dipahami umat manusia tentang pandemi ini. Butuh riset puluhan tahun bahkan di saat yang sama manusia harus mempersiapkan diri untuk serangan wabah yang lain.
Pakar epidemiologi hingga para dokter terus mewanti-wanti bahwa meskipun vaksinasi sudah digenjot tetapi social distancing dan protokol kesehatan masih perlu dilakukan untuk meminimalkan kemungkinan kenaikan infeksi di kemudian hari.
Apabila dilihat secara sekilas, negara-negara yang agresif dalam melakukan vaksinasi seperti Israel, Inggris dan AS mulai mencatatkan penurunan kasus. Tiga negara tersebut merupakan negara yang paling agresif dalam menyuntikkan vaksin, terlihat dari cakupan populasi yang sudah diimunisasi setidaknya satu kali suntik.
Namun sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi penurunan kasus. Bisa saja kasus turun karena memang merupakan kombinasi kebijakan vaksinasi yang agresif serta pengetatan seperti yang dilakukan di Inggris.
Untuk kasus Israel, lockdown pun diperketat akhir tahun lalu. Saat karantina wilayah diterapkan secara masif, pemerintah memanfaatkan momentum tersebut untuk menggenjot vaksinasi. Kebetulan wilayah geografis dan ukuran populasi yang kecil juga mendukung. Oleh karena itu kasus mulai melandai dan pelonggaran dilakukan.
Satu hal yang perlu dicatat juga adalah bisa saja kasus melandai karena monitoring perkembangan pandemi menjadi kendor. Jumlah tes yang dilakukan menurun atau inkonsisten, pelacakan tidak dilakukan secara komprehensif. Hal ini yang seharusnya dihindari.
Riset yang dilakukan oleh para peneliti dari Harvard Chan School of Public Health menyebut ada 3 senjata utama untuk lepas dari jerat pandemi. Ketiga jurus tersebut adalah kecepatan vaksinasi, laju infeksi yang rendah dan kepercayaan masyarakat yang tinggi.
Dalam sebuah pemodelan sebagaimana dilaporkan oleh Reuters, jika vaksin memiliki efektivitas 75% dan virus dapat menular ke 1,2 orang maka jumlah kasus infeksi bakal turun 31% saat vaksinasi Covid-19 dilakukan dengan laju 0,1% dari populasi. Laju penurunan tersebut baru dapat dicapai ketika 50% populasi divaksinasi.
Apabila lajunya naik menjadi 0,5% populasi per hari dan variabel lain seperti efektivitas vaksin, jumlah orang yang divaksinasi dan laju infeksi masih sama maka potensi penurunan infeksi akan lebih besar mencapai 67%.
Jika laju vaksinasi dinaikkan lagi sampai 2% dari populasi per hari maka potensi penurunan kasus infeksi bisa sampai 80%. Namun semua indikator ini adalah indikator yang dinamis atau bergerak, sehingga menggunakan asumsi yang sangat terkontrol adalah hal yang tidak realistis.
Apabila 80% kasus sudah turun tetapi laju infeksi naik dan virus dapat menularkan ke 1,8 orang lain maka enam bulan setelahnya kasus infeksi akan meningkat 2,5 kali dari awal. Apabila laju infeksi naik hingga 2,1 kali maka infeksi akan menjadi 6 kali lebih banyak dari awal.
Ketika sudah sampai tahap itu, dan kepercayaan publik untuk divaksinasi cenderung moderat dan hanya setengah dari populasi yang disuntik vaksin maka kasus infeksi akan susah diturunkan. Inilah pentingnya membangun kepercayaan publik.
Berkaca pada studi tersebut, kira-kira bagaimana dengan kondisi Indonesia?
Pandemi Covid-19 sudah satu tahun melanda Tanah Air. Saat ini lebih dari 1,3 juta orang terinfeksi, sekitar 1,15 juta dinyatakan sembuh, 36 ribu orang meninggal dunia dan sisanya 155 ribu menyandang status sebagai pasien aktif Covid-19.
Seperti di negara lain, vaksinasi juga sudah dijalankan di Indonesia. Tepatnya pada pertengahan Januari lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang pertama yang disuntik vaksin Covid-19 buatan Sinovac.
Satu bulan berjalan laju vaksinasi di Indonesia bisa dibilang mengalami perbaikan walau masih lambat dan jauh dari target yang ditetapkan pemerintah. Namun setidaknya dalam sepekan terakhir rata-rata sudah lebih dari 0,1% populasi yang secara penuh disuntik vaksin (2 dosis) setiap harinya.
Laju reproduksi virus (Rt) di Indonesia sendiri masih 'mepet' angka 1. Tingkat kasus positifnya juga masih di atas 25%. Artinya virus masih sangat menular. Tingkat efikasi vaksin Sinovac yang digunakan juga di bawah 75%.
Tingkat efikasi diperoleh berdasarkan uji klinis yang terkontrol dan kemungkinan efetivitasnya secara riil akan lebih rendah. Dalam survei yang dilakukan oleh WHO, Kementerian Kesehatan dan UNICEF bulan November lalu terhadap lebih dari 100 ribu penduduk Indonesia, sebanyak 65% dari responden mau menerima vaksin.
Ini bisa menjadi salah satu modal bagus untuk meningkatkan kesuksesan program vaksinasi. Bagaimanapun juga pemerintah masih perlu melakukan tiga hal utama. Pertama jelas menggeber vaksinasi dengan laju yang lebih cepat.
Berbagai kendala seperti logistik harus segera diatasi. Komunikasi ke publik yang efektif dan terbuka juga perlu ditingkatkan untuk membangun kepercayaan. Di saat yang sama pemerintah juga harus mengamankan sejumlah pasokan vaksin yang mencukupi untuk kebutuhan program imunisasi Covid-19 di dalam negeri.
Tak luput juga bahwa di saat vaksinasi digenjot program 3T (Testing, Tracing & Treatment) oleh pemerintah dan 3M (Menggunakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan) oleh semua pihak jangan sampai dikesampingkan.
Artinya sekarang bukan saatnya untuk lengah. Kalaupun pelonggaran dilakukan tetap harus mengacu pada indikator epidemiologi yang komprehensif dan tidak bisa asal-asalan. Ingat pelonggaran yang jor-joran bisa berakibat fatal. Ekonomi yang diharapkan bangkit bisa jadi bulan-bulan infeksi Covid-19.
Lagipula terlalu mengandalkan vaksin bukanlah hal yang bijak dan tepat. Menurut David Paltiel, seorang profesor di Yale School of Public Health yang juga terlibat dalam penelitian tentang kunci kesuksesan vaksinasi Covid-19 tersebut, bukanlah vaksinasi yang menyelamatkan nyawa tapi program vaksinasi.
Bukan masalah disuntiknya saja, tetapi juga proses secara keseluruhan mulai dari awal hingga akhir. Toh setelah disuntik vaksin bisa juga orang terinfeksi karena untuk membentuk kekebalan tubuh juga butuh waktu.
Oh ya, jangan lupa juga butuh dua kali suntik juga! Jadi walau vaksinasi sudah digenjot jangan kasih kendor ya!
TIM RISET CNBC INDONESIA