Internasional

Myanmar Makin Panas, Investasi Migas Bakal Jadi Korban?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
09 February 2021 12:23
A crowd of protesters fill a street and a bridge in Mandalay, Myanmar on Sunday, Feb. 7, 2021. Tens of thousands of people rallied against the military takeover in Myanmar's biggest city on Yangon Sunday and demanded the release of Aung San Suu Kyi, whose elected government was toppled by the army that also imposed an internet blackout. (AP Photo)
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi di Myanmar saat ini masih memanas. Setelah penggulingan Aung San Suu Kyi 1 Februari lalu, demonstrasi masih terus terjadi.

Meski junta militer sudah meminta agar warga tidak melakukan demo, dengan melarang pertemuan lebih dari lima orang dan mengancam penindakan, Selasa (8/2/2021), demo masih terlihat. Di kota bisnis Yangon misalnya, mahasiswa berkumpul menuntut Suu Kyi bebas.

Pengamat menilai pergolakan militer Myanmar bisa mengancam investasi energi, minyak dan gas di salah satu negara miskin di dunia itu. Salah satunya dari negara-negara pendukung demokrasi Myanmar seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), Australia dan Singapura.

Pengurangan investasi energi bisa saja melanda. Pasalnya negara-negara tersebut meningkatkan investasi saat Myanmar lepas dari jeratan militer ke pemerintahan sipil 10 tahun lalu.

"Militer sekarang memiliki cengkeraman yang kuat di negara itu, tapi tetap akan ada risiko kerusuhan sosial yang signifikan," kata Kepala Praktik Grup Eurasia untuk Asia Tenggara dan Selatan, Peter Mumford, dikutip dari S&P Global.

"Sanksi tambahan oleh AS atau negara-negara Barat dapat diterapkan, terutama jika militer menindak keras pendemo."

Ini akan menjadi masalah bagi negara itu. Perusahaan barat yang ada di Myanmar pasti akan melakukan upaya tertentu untuk menjauhi sanksi yang diberikan.

Investor energi besar seperti Jepang misalnya. Perusahaan asal Matahari Terbit sangat memperhatikan kelanjutan kudeta.

"Kami menyadari perkembangan di Myanmar dan memantau situasi dengan hati-hati," kata juru bicara Puma Energy, yang mengoperasikan terminal impor produk minyak bumi terbesar di Myanmar.

"Prioritas utama kami di Puma Energy adalah keselamatan dan keamanan kolega kami selama periode ketidakpastian ini."

Mereka menyebut telah menghentikan sementara operasi pengangkutan minyak. Bukan hanya karena corona (Ccovid-19), mereka juga bersiaga atas apa yang akan terjadi di negeri Burma itu.

Seorang pejabat Marubeni, yang mewakili konsorsium Jepang dengan Sumitomo dan Mitsui yang mengerjakan proyek LNG-to-power di Thilawa juga mengatakan perusahaan sedang mengumpulkan informasi dan memantau situasi. Namun sayangnya mereka menolak menjelaskan lebih lanjut.

Myanmar sendiri memiliki lading gas Yadana. Di sana terdapat sejumlah kontraktor migas barat beroperasi seperti Total Perancis dengan mitra Chevron.

Petronas Malaysia juga memilik operasi di sana termasuk POSCO Korea Selatan. Investor lainnya adalah Nippon Oil Jepang, Kogas dan ONGC dan GAIL India.

Proyek lepas pantai utama lainnya yang sedang dikembangkan adalah ladang Shwe Yee Htun di Blok A-6, di mana Woodside Australia adalah operatornya. Mitra termasuk Total dan MPRL E&P India.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perusahaan Migas hingga Garmen Angkat Kaki dari Myanmar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular