
Sedih! RI Ranking 85 dari 98 Negara dalam penanganan Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga think tank global Lowy Institute belum lama ini mempublikasikan risetnya terkait kinerja pengendalian pandemi Covid-19 di berbagai negara. Dalam laporan tersebut Lowy Institute menetapkan Indonesia berada di ranking 85 dari 98 negara.
Dalam menentukan ranking, setidaknya ada beberapa indikator yang dianalisis, mulai dari kasus terkonfirmasi, jumlah kematian, hingga jumlah tes Covid-19 yang dilakukan di setiap negara. Skor mendekati nol artinya kinerja penanganan yang buruk sementara skor mendekati 100 menunjukkan kesuksesan dalam pengendalian wabah.
Indonesia mendapatkan skor 24,7. Skor Indonesia juga berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya. Nilai Indonesia bahkan berada di bawah median dari 98 negara yang disurvei.
Vietnam dan Thailand menjadi negara yang termasuk ke dalam peringkat atas jajaran global. Vietnam berada di peringkat kedua setelah Selandia Baru, sementara Thailand terpaut dua peringkat di bawahnya. Kemudian Singapura menyusul di peringkat ke-13.
Sementara Malaysia menduduki peringkat 16. Bahkan peringkat Indonesia delapan setrip di bawah Filipina.
Dalam studi tersebut Lowy Institute menyimpulkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu negara dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Pertama adalah jumlah populasi. Semakin sedikit jumlah penduduk, upaya penanganan pandemi bakal lebih efektif.
Selain ukuran populasi, sistem politik serta kondisi ekonomi suatu negara juga turut berpengaruh. Menariknya, negara-negara yang menganut sistem demokrasi lebih unggul dalam skor di awal. Namun seiring dengan perkembangan pandemi yang semakin tak merebak, sistem politik otoritarian lebih unggul.
Dilihat dari sisi kondisi ekonominya, negara-negara maju dengan pendapatan per kapita yang tinggi memang lebih diunggulkan. Namun seiring dengan berjalannya waktu skor antara negara maju dan berkembang menjadi tidak jauh berbeda.
Secara umum, negara-negara di kawasan Asia Pasifik lebih berhasil dalam mengangai pandemi Covid-19 dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lain. Sementara itu Eropa yang berhasil di awal-awal pandemi justru menjadi yang paling rendah dalam skornya menyusul lonjakan kasus yang signifikan saat gelombang kedua melanda.
Sebagai negara dengan populasi besar dengan lebih dari 268 juta penduduk, upaya pengendalian Covid-19 memang menghadapi tantangan yang besar.
Di awal masa pandemi merebak, kebijakan yang setengah-setengah, perbedaan pandangan antar lembaga kementerian soal mobilitas mudik hingga koordinasi pusat dan daerah yang kendur membuat kasus Covid-19 terus melonjak dengan signifikan.
Kebijakan 3T (Testing, Tracing & Treatment) tidak berjalan dengan optimal. Belum lama ini Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) mengkritisi langkah tes yang dilakukan selama ini.
Menurutnya percuma saja sebanyak apapun tes dilakukan karena yang dites hanya orang-orang yang sama yang hendak bepergian karena memang sudah menjadi kebijakan.
Seharusnya hasil dari testing di-follow up lebih lanjut dengan melakukan tracing. Namun sayang tracing tidak dijalankan dengan optimal di dalam negeri.
Tingkat kasus positif yang sangat tinggi (>25%) menunjukkan bahwa penularan Covid-19 di Indonesia terjadi dengan sangat masif. Indonesia perlu terus menggenjot jumlah tes yang dilakukan. Tentu dengan cara yang benar agar datanya menjadi valid dan bisa digunakan sebagai acuan untuk membuat kebijakan.
Indonesia memang menutup diri dari turis asing sejak awal Januari. Namun mobilitas di dalam negeri yang tinggi menjadi pemicu utama transmisi virus.
Mobilitas publik yang masif terjadi di beberapa momentum tahun 2020 mulai dari hari raya Idul Fitri, libur Maulid Nabi Muhammad SAW dan cuti bersama hingga libur Natal dan akhir tahun. Pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat juga sering dijumpai sehingga membuat permasalahan pandemi menjadi semakin kompleks.
Kombinasi antara kebijakan yang tidak optimal, kesadaran masyarakat yang rendah, tingkat perekonomian Indonesia dan ukuran populasi yang besar membuat Indonesia seolah menjadi ladang yang subur untuk virus Corona jenis baru ini (SARS-CoV-2).
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengetatkan aktivitas masyarakat terutama di episentrum wabah Jawa-Bali melalui kebijakan PPKM. Namun tetap saja jika intervensi kebijakan publik tidak berjalan optimal, kesadaran masyarakat juga tidak terbangun, hal ini akan menjadi sia-sia saja.
Indonesia memang sudah mulai melaksanakan program vaksinasi. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerima suntikan vaksin yang kedua kemarin. Dimulainya vaksinasi Covid-19 secara masal di Indonesia tidak serta merta berarti pandemi akan segera berakhir.
Pembatasan aktivitas sosial masih diperlukan mengingat ketersediaan vaksin masih belum mencukupi, aspek distribusi vaksin ke 34 provinsi juga masih menjadi tantangan tersendiri. Di saat yang sama pemerintah harus terus berlomba dengan kenaikan kasus infeksi yang terus terjadi.
Kasus kumulatif Covid-19 di Indonesia sudah tembus angka 1 juta orang. Tren pertambahan kasus hariannya pun cenderung meningkat. Dengan semua realita yang ada wajar saja Lowy Institute menetapkan Indonesia berada di 'papan bawah''.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article WHO Sampai Ikut Pelototi Corona Jakarta! Parah Ya?