
Corona Jenis Baru Bikin Ngeri, Akankah Ekonomi Minus Lagi?

Selain pandemi Covid-19, masih ada rentetan risiko lain yang harus dihadapi oleh perekonomian global di tahun 2021. Kendati vaksin Covid-19 menunjukkan kemajuan yang luar biasa, bukan berarti tak ada risiko yang terkandung di dalamnya.
Risiko terkait vaksin Covid-19 terletak pada efektivitas dan implementasinya. Sampai saat ini hasil komprehensif dan konklusif dari uji klinis tahap akhir vaksin Covid-19 belum benar-benar dipublikasikan.
Hasil interim kandidat vaskin Covid-19 Pfizer, Moderna, AstraZeneca, Gamaleya Research Institute dan Sinovac memang menjanjikan. Efficacy yang dilaporkan berkisar di antara 70-95%. Lebih tinggi dari vaksin Flu. Namun biasanya ketika diimplementasikan untuk masyarakat luas efektivitasnya akan lebih rendah dari hasil uji klinis.
Risiko juga muncul jika target vaksinasi masal tidak terpenuhi atau berjalan dengan lambat. Dua skenario tersebut memang tidak diharapkan. Namun haruslah dipertimbangkan.
Risiko kedua adalah tensi geopolitik yang tinggi. Covid-19 bukan menjadi pemicu utama tensi geopolitik, tetapi berperan sebagai akselerator. Perang dagang AS-China kemungkinan masih akan berlanjut. Hubungan Australia-China juga sedang tidak akur. Itu baru dua contoh saja dan belum ada resolusinya sampai saat ini.
Jika tensi geopolitik ini berlanjut dan berakibat pada munculnya kebijakan yang cenderung proteksionis tentu saja akan menjadi faktor lain yang menghambat pemulihan ekonomi global.
Risiko ketiga terletak pada disparitas. Saat wabah Covid-19 terjadi jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Jutaan orang di dunia kehilangan pekerjaan saat lockdown, penjualan sektor usaha drop begitu juga margin labanya, angka kemiskinan ekstrem diramal bakal naik sampai ratusan juta populasi.
Di saat yang sama orang-orang yang punya akses terhadap pasar modal bisa mendulang cuan yang banyak dan menambah pundi-pundi kekayaannya ketika pasar saham terus mencetak rekor tertinggi barunya.
Sebelum Covid-19 saja disparitas antara si kaya dan si miskin sangat terlihat jelas. Hal tersebut disampaikan oleh lembaga think tank Oxfam. Menurut lembaga yang punya misi memerangi kemiskinan tersebut jumlah miliuner dunia pada 2019 jumlahnya mencapai 2.153 orang.
Walau jumlahnya sedikit ternyata kekayaan mereka melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di dunia. Padahal populasi benua diperkirakan mencapai 7,8 miliar pada 2020. Artinya ada 0,00003% orang yang lebih kaya dibanding hampir 60% orang di dunia.
Kenaikan disparitas ekonomi tersebut jelas dikhawatirkan akan menciptakan kondisi yang tak stabil (instability) dalam politik maupun perekonomian.
Risiko yang tidak kalah penting adalah kenaikan utang yang sangat fantastis. Pada Januari tahun lalu Institute of International Finance (IIF) melaporkan total utang dunia mencapai US$ 253 triliun. Saat Covid-19 jumlahnya bertambah menjadi US$ 277 trilun.
Artinya rasio utang sudah mencapai 3 kali dari output perekonomian global. Hal yang dikhawatirkan adalah ketika pengetatan moneter dilakukan maka ini berpotensi membawa perekonomian dunia yang terlilit ke dalam hutang jatuh lagi ke dalam resesi dan fundamental ekonomi menjadi sangat rapuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)