Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki tahun 2021, pandemi Covid-19 masih belum bisa dijinakkan. Boro-boro dikendalikan, yang terjadi justru sebaliknya. Semakin memburuk. Jika tren ini terus terjadi dan meluas ke berbagai negara maka prospek pemulihan ekonomi yang digadang-gadang berada dalam ancaman.
Kasus Covid-19 kumulatif secara global tembus angka 85 juta hari ini, Senin (4/1/2021). Hampir seperempatnya disumbang oleh Amerika Serikat (AS). Kasus di Paman Sam sudah melampaui 20 juta.
Perkembangan vaksinasi yang ditarget mencapai 20 juta orang hingga akhir 2020, realitanya baru 14% saja dari target yang tercapai. Di Inggris kasus terus melesat. Kenaikan kasus harian ini dikaitkan dengan munculnya varian baru virus Corona yang disebut 70% lebih menular.
Perdana Menteri Boris Johnson akhirnya memilih untuk mengetatkan lockdown. Belum lama ini Inggris kembali menutup sekolah dasarnya untuk melindungi anak-anak yang berisiko terjangkit Covid-19.
Beralih ke Negeri Sakura, Perdana Menteri Yoshihide Suga dibuat pusing dan dilema antara membiarkan roda perekonomian bergeliat atau memilih mendeklarasikan kondisi darurat nasional yang berarti akan mengerem laju roda perekonomian yang sudah hampir berhenti.
Ketiga negara yang sedang kewalahan menghadapi Covid-19 tersebut berkontribusi terhadap 33,4% total output perekonomian global di tahun 2019. Ketiganya terus mengerem laju perekonomiannya, maka ekonomi negara lain yang terintegrasi dengan negara-negara tersebut juga akan terseret. Bahkan dampaknya mengglobal.
Tahun ini prospek pertumbuhan ekonomi dunia diramal positif. Pertumbuhan PDB diperkirakan bakal di atas 4% akibat optimisme vaksinasi Covid-19, suku bunga dan inflasi yang rendah serta fenomena low based effect.
Namun risiko bahwa kontraksi (pertumbuhan negatif) masih akan berlanjut di kuartal pertama tahun ini juga harus diwaspadai oleh para pelaku ekonomi. Pasalnya sudah ada 28 negara yang melaporkan temuan varian yang disebut B.1.1.7 tersebut sampai saat ini.
Ketika rem darurat (karantina wilayah) kembali ditarik secara masif maka dampaknya bisa serius. Pasar keuangan yang saat ini sedang dimabuk asmara dengan adanya kabar positif vaksin serta stimulus bisa berubah bermuram durja.
Pandemi Covid-19 masih menjadi the single biggest risk untuk perekonomian tahun ini. Bahkan dengan segenap amunisi yang dikeluarkan oleh otoritas fiskal dan bank sentral saja tak mampu meredam dampak pandemi yang sangat signifikan.
Negara-negara maju yang selama ini sudah berada di tren pertumbuhan ekonomi yang lambat akan butuh waktu lebih lama lagi untuk pulih. Sementara negara-negara berkembang yang diharapkan pulih lebih cepat juga mendapatkan ancaman yang serius.
Pasalnya defisit fiskal yang bengkak dan kebijakan moneter di negara-negara berkembang juga punya batasnya tidak seperti Paman Sam yang penuh dengan kedigdayaan dan mata uangnya jadi aset safe haven serta acuan perdagangan internasional yang bisa mencetak uang kapan saja.
Selain pandemi Covid-19, masih ada rentetan risiko lain yang harus dihadapi oleh perekonomian global di tahun 2021. Kendati vaksin Covid-19 menunjukkan kemajuan yang luar biasa, bukan berarti tak ada risiko yang terkandung di dalamnya.
Risiko terkait vaksin Covid-19 terletak pada efektivitas dan implementasinya. Sampai saat ini hasil komprehensif dan konklusif dari uji klinis tahap akhir vaksin Covid-19 belum benar-benar dipublikasikan.
Hasil interim kandidat vaskin Covid-19 Pfizer, Moderna, AstraZeneca, Gamaleya Research Institute dan Sinovac memang menjanjikan. Efficacy yang dilaporkan berkisar di antara 70-95%. Lebih tinggi dari vaksin Flu. Namun biasanya ketika diimplementasikan untuk masyarakat luas efektivitasnya akan lebih rendah dari hasil uji klinis.
Risiko juga muncul jika target vaksinasi masal tidak terpenuhi atau berjalan dengan lambat. Dua skenario tersebut memang tidak diharapkan. Namun haruslah dipertimbangkan.
Risiko kedua adalah tensi geopolitik yang tinggi. Covid-19 bukan menjadi pemicu utama tensi geopolitik, tetapi berperan sebagai akselerator. Perang dagang AS-China kemungkinan masih akan berlanjut. Hubungan Australia-China juga sedang tidak akur. Itu baru dua contoh saja dan belum ada resolusinya sampai saat ini.
Jika tensi geopolitik ini berlanjut dan berakibat pada munculnya kebijakan yang cenderung proteksionis tentu saja akan menjadi faktor lain yang menghambat pemulihan ekonomi global.
Risiko ketiga terletak pada disparitas. Saat wabah Covid-19 terjadi jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Jutaan orang di dunia kehilangan pekerjaan saat lockdown, penjualan sektor usaha drop begitu juga margin labanya, angka kemiskinan ekstrem diramal bakal naik sampai ratusan juta populasi.
Di saat yang sama orang-orang yang punya akses terhadap pasar modal bisa mendulang cuan yang banyak dan menambah pundi-pundi kekayaannya ketika pasar saham terus mencetak rekor tertinggi barunya.
Sebelum Covid-19 saja disparitas antara si kaya dan si miskin sangat terlihat jelas. Hal tersebut disampaikan oleh lembaga think tank Oxfam. Menurut lembaga yang punya misi memerangi kemiskinan tersebut jumlah miliuner dunia pada 2019 jumlahnya mencapai 2.153 orang.
Walau jumlahnya sedikit ternyata kekayaan mereka melebihi kekayaan 4,6 miliar orang di dunia. Padahal populasi benua diperkirakan mencapai 7,8 miliar pada 2020. Artinya ada 0,00003% orang yang lebih kaya dibanding hampir 60% orang di dunia.
Kenaikan disparitas ekonomi tersebut jelas dikhawatirkan akan menciptakan kondisi yang tak stabil (instability) dalam politik maupun perekonomian.
Risiko yang tidak kalah penting adalah kenaikan utang yang sangat fantastis. Pada Januari tahun lalu Institute of International Finance (IIF) melaporkan total utang dunia mencapai US$ 253 triliun. Saat Covid-19 jumlahnya bertambah menjadi US$ 277 trilun.
Artinya rasio utang sudah mencapai 3 kali dari output perekonomian global. Hal yang dikhawatirkan adalah ketika pengetatan moneter dilakukan maka ini berpotensi membawa perekonomian dunia yang terlilit ke dalam hutang jatuh lagi ke dalam resesi dan fundamental ekonomi menjadi sangat rapuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA