Bikin Baterai Mobil Listrik Ok, Tapi Jangan Lupakan Limbahnya

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
29 December 2020 20:20
Cover Fokus, kecil, thumbnail, luar, tambang, nikel
Foto: Cover Topik/Tambang Nikel/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kini terus menggencarkan hilirisasi nikel, hingga tak tanggung-tanggung mengundang investor kelas dunia untuk berinvestasi membangun pabrik baterai hingga mobil listrik di Tanah Air.

Dengan melimpahnya sumber daya nikel di dalam negeri, tak ayal ini menjadi kekuatan Indonesia untuk membangun pabrik komponen baterai kendaraan listrik ini. Namun, pembangunan pabrik baterai ini jangan sampai melupakan hal penting lainnya yaitu pengaturan soal limbah dari pabrik ini nantinya.

Chief Executive Officer (CEO) PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan setiap produksi satu baterai untuk mobil listrik, bisa menghasilkan 1,8 ton tailing atau limbah.

Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah segera mengatur dan menyelesaikan potensi permasalahan limbah ini. Jangan sampai, imbuhnya, ini menimbulkan masalah lain di kemudian hari.

Dia berharap agar masalah tailing ini segera bisa dicarikan jalan keluarnya.

"Ini bagaimana penanganan tailing, ini yang harus diselesaikan," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/12/2020).

Baterai mobil listrik ini merupakan produk dari hilirisasi nikel. Menurut Alex, prinsip dari hilirisasi yang pertama adalah sustainable atau berkelanjutan. Agar berkelanjutan, maka menurutnya cadangan nikel juga harus diatur.

"Artinya dengan cadangan (nikel) 1 miliar ton yang terbukti, harus hitung berapa per tahun yang bisa dieksplorasi. Kedua, lingkungan juga harus perhatikan, ketiga keekonomian," tuturnya.

Lebih lanjut dia mengatakan proses hilirisasi nikel saat ini sudah pada turunan kedua yakni turunan pertama seperti berupa feronikel atau nickel pig iron (NPI) dan turunan kedua berupa stainless steel.

Seperti diketahui, untuk membangun pabrik baterai, maka dibutuhkan pasokan bahan baku dari baterai tersebut yakni bisa berupa Mix Hydroxide Precipitate (MHP) maupun Mix Sulphide Precipitate (MSP). Produk ini merupakan cikal bakal nickel sulphate atau cobalt sulphate yang menjadi bahan baku komponen baterai.

Adapun produk MHP atau MSP tersebut merupakan hasil dari smelter nikel dengan metode High Pressure Acid Leaching (HPAL).

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak sempat mengatakan saat ini terdapat lima smelter dengan teknologi HPAL tengah dibangun. Kelima smelter tersebut ditargetkan bisa operasi pada 2022 atau paling lambat pada 2023.

Dia mengatakan, pembangunan smelter HPAL ini juga berguna untuk menyerap bijih nikel kadar rendah yang selama ini tidak diserap oleh smelter-smelter yang ada. Sejumlah perusahaan smelter yang ada saat ini hanya menyerap bijih nikel kadar tinggi di atas 1,7%. Sementara banyak juga produksi nikel Indonesia yang kadarnya rendah atau di bawah 1,7%.

Bila smelter HPAL ini terbangun, maka penyerapan bijih nikel di dalam negeri diperkirakan akan mencapai sekitar 60 juta ton per tahun. Dia mengatakan, saat ini perusahaan smelter yang ada baru menyerap bijih nikel domestik sekitar 30 juta ton per tahun.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 4 Pabrik Komponen Baterai Rp 43,5 T Dibangun di Morowali

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular