
Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Lebih Parah dari -2,2%, Kalau...

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 telah menjelma menjadi resesi ekonomi terbesar sejak The Great Depression. Krisis ekonomi itu menjalar sampai ke Indoenesia dan menyebabkan kontraksi ekonomi untuk kali pertama sejak lebih dari 20 tahun terakhir.
Pada kuartal II-2020, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menyusut 5,32% (yoy). Kontraksi berlanjut ke kuartal berikutnya yaitu minus 3,49%. Meski masih di teritori negatif tetapi ada perbaikan kinerja akibat pelonggaran pembatasan sosial di berbagai tempat.
Mobilitas masyarakat yang mulai membaik membuat pasar keuangan domestik sumringah. Kondisi pun berbalik dari yang sebelumnya terjadi aliran modal keluar (outflow) secara besar-besaran, pada kuartal kedua mulai ada inflow yang menyebabkan aset-aset keuangan domestik terangkat.
Kebijakan bank sentral global yang akomodatif ditandai dengan rendahnya suku bunga acuan dan pelonggaran kuantitatif terutama dari bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserves membuat greenback tertekan. Alhasil rupiah yang tadinya terdepresiasi tajam langsung mengalami apresiasi.
Mobilitas yang terpantau membaik tidak serta merta membuat roda perekonomian di setiap sektor pulih. Sektor transportasi, perhotelan, restoran dan pariwisata masih ada di zona kontraksi.
Banyak yang sudah bekerja di kantor. Namun kondisi sektor ketenagakerjaan tetap memprihatinkan dengan angka pengangguran yang nyaris tembus 10 juta orang. Pendapatan para pekerja pun tergerus.
Untuk meredam dampak krisis kesehatan melebar jauh ke perekonomian, pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal sebesar 4,4% dari PDB. Stimulus tersebut paling banyak dialokasikan untuk bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia menyebut bantuan fiskal tersebut turut membantu krisis ekonomi yang terjadi tidak semakin buruk. Namun ada beberapa yang menjadi catatan lembaga keuangan yang bermarkas di Washington DC tersebut.
Pendapatan negara yang drop akibat setoran pajak yang lesu dibarengi dengan bengkaknya kewajiban pemerintah untuk menstimulasi roda perekonomian menyebabkan defisit anggaran semakin besar.
Selain melalui utang, pemerintah dan bank sentral melakukan skema berbagi beban (burden sharing). Dalam hal ini bank sentral ikut serta membiayai defisit anggaran yang menggelembung.
Setidaknya pembelian utang pemerintah Indonesia berdenominasi rupiah yang telah dibeli oleh Bank Indonesia (BI) besarnya mencapai 1,8% dari PDB. Lebih besar dari rata-rata negara berkembang lain (emerging markets) di 1,7% PDB.
Kebijakan OJK untuk merestrukturisasi kredit membuat rasio kredit macet kendati ada kenaikan masih berada di tingkat yang aman 3,1%. Namun di saat yang sama proporsi kredit yang berisiko (Loan at Risk/LAR) melonjak tinggi hingga dobel digit dari 11,6% pada Maret lalu menjadi 20,7% pada September.