RS & Tenaga Kesehatan RI Tak Cukup Hadapi Lonjakan Covid-19

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
16 December 2020 15:13
Infografis/Kasus Aktif Indonesia Lebih Rendah Dari Rata-Rata Dunia
Foto: Infografis/Kasus Aktif Indonesia Lebih Rendah Dari Rata-Rata Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia- Ketua Tim Pakar & Juru Bicara Pemerintah Untuk Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan penerapan perubahan perilaku dan protokol kesehatan menjadi titik penting dalam penanganan pandemi ini. Pasalnya, fasilitas dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak didesain untuk menangani jika seluruh masyarakat sakit secara bersamaan.

"Upaya kita ini betul-betul harus kerjasama bersama masyarakat karena Indonesia negara besar dan caranya adalah menggerakan seluruh komponen bangsa. Rumah Sakit, dokter, dan obat yang disiapkan tidak akan cukup menangani sekian besar penduduk Indonesia kalau sakit. Ini karena RS tidak didesain untuk menangani semua orang Indonesia sakit saat bersamaan," kata Wiku, Rabu (16/12/2020).

Perubahan perilaku menjadi kunci untuk menangani pandemi Covid-19, dan menjadi efektif jika dilakukan bersama-sama. Dia menegaskan jangan sampai masyarakat justru ribut sendiri di masa pandemi ini, karena membuat Covid-19 semakin berlarut-larut.

"Yang paling baik adalah menjalankan protokol kesehatan karena kita tidak pernah tahu kapan akhirnya Covid-19 berakhir. Yang bisa menentukan kapan berakhir ini adalah bersama-sama menerapkan protokol kesehatan, memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun," kata Wiku, Rabu (16/12/2020).

Protokol kesehatan, menurutnya pun bukan hanya efektif untuk Covid-19 tetapi penyakit lain yang menular melalui udara maupun dari tangan yang kotor. Wiku mengatakan dengan menggunakan masker itu membuat pernapasan terlindung dari penyakit dari udara. Mencuci tangan pakai sabun juga berguna untuk mematikan virus lain apalagi, tangan adalah jalur penularan penyakit yang paling umum karena digunakan untuk memegang mata, hidung dan mulut. Dengan begitu, dapat dikatakan protokol kesehatan yang digalakkan menjadi modal ke depan.

Selain itu, masyarakat juga diharapkan perlu mengenali dengan baik risiko jenis mobilitas dan kegiatan yang dilakukan. Seperti kondisi dengan risiko terendah, yaitu beraktivitas di rumah dan hanya berinteraksi dengan keluarga inti dan melakukan perjalanan singkat dengan kendaraan pribadi dengan keluarga tanpa melakukan pemberhentian selama perjalanan.

Untuk itu terkait mitigasi risiko mobilitas, pemerintah sedang memfinalisasi kebijakan terkait pelaku perjalanan antarkota yang meliputi persyaratan sampai mekanisme perjalanan dan kembali ke tempat asalnya.

"Pengambilan kebijakan terkait pelaku perjalanan dilakukan karena selalu ada tren kenaikan kasus setiap adanya masa liburan panjang," ujarnya.

Wiku mengingatkan kembali, berdasarkan studi Mu et Al tahun 2020, mengenai dampak mobilitas libur panjang Imlek di China tahun ini, ditemukan bahwa kota yang letaknya lebih dekat dengan pusat epidemik Covid-19, sekaligus dekat dengan daerah perkotaan padat penduduk akan memiliki risiko kemunculan kasus baru yang lebih tinggi.

Lalu, pembatasan mobilitas antar kota, dapat menekan peluang risiko penularan sebesar 70%. Dan pembatasan mobilitas dalam kota sebesar 40% harus diikuti monitoring dan evaluasi yang baik.

Sementara dari studi Chun Chang et al 2020, mengenai dampak wabah di Taiwan, ditemukan bahwa waktu, durasi dan tingkat pembatasan perjalanan memiliki andil dalam menentukan besar jumlah kasus.

"Selain itu, sudah jelas berdasarkan data, kita sudah sama-sama mempelajari, bahwa setiap liburan yang meningkatkan mobilitas penduduk akan mengakibatkan lonjakan kasus pada 2 hingga 4 minggu setelahnya," jelas Wiku.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Baru Sebut China Sudah Kaji Covid Sebelum Pandemi Meledak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular