
Alert! Harga Pangan Dunia Beterbangan, Tanda Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga pangan global semakin melambung tinggi. Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional (FAO) mencatat harga semua kategori komoditas pangan melonjak di bulan November.
Minyak nabati menjadi komoditas pangan yang harganya paling naik tajam di bulan November, kemudian disusul oleh harga gula, sereal, produk susu dan daging. Rata-rata indeks harga pangan global pada bulan November berada di 105.
Indeks harga pangan mengalami kenaikan 4 poin dibanding bulan Oktober atau naik 3,9% secara month on month (mom) dan naik 6,4 poin atau menguat 6,5% secara year on year (yoy).
Kenaikan tersebut tidak hanya menjadi peningkatan bulanan tertinggi sejak Juli 2012 tetapi secara historis, indeksnya juga berada di posisi tertinggi sejak enam tahun silam atau tepatnya per Desember 2014.
Harga minyak sayur mengalami kenaikan tertinggi di antara harga-harga pangan lain. Secara indeks harga komoditas ini naik 14,5% (mom) pada November. Kenaikan harga kelompok komoditas ini ditopang oleh melesatnya harga minyak sawit.
Penurunan output akibat faktor musiman, cuaca dan pengendalian Covid-19 di negara-negara produsen seperti Malaysia dan Indonesia yang dibarengi dengan kuatnya permintaan impor dari negara konsumen jadi pemicu utamanya.
Masalah ketatnya pasokan juga turut mengerek harga minyak nabati jenis lain seperti minyak kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari ikut terkerek naik. Faktor lain yang memberikan tekanan ke atas pada harga minyak nabati adalah harga komoditas minyak mentah yang melambung ke level tertinggi dalam delapan bulan terakhir.
Beralih ke gula, indeks harga komoditas pangan ini naik 2,8 poin menjadi 87,5. Secara bulanan indeks harga gula terapresiasi sebesar 3,3%. Faktor cuaca yang buruk membuat produksi gula menurun di Uni Eropa, Thailand dan Rusia.
Badai yang menerjang negara-negara seperti Nicaragua, Honduras dan Guatemala ikut menyokong kenaikan harga gula.
Setali tiga uang, harga gandum, sorgum dan jagung internasional juga meningkat. Hal ini membuat indeks harga pangan komoditas ini ikut terangkat naik. Data FAO menunjukkan indeks harga sereal berada di posisi 114,4 naik 2,5% (mom) dan 19,9% (yoy).
Prospek penurunan pasokan ekspor di negara-negara produsen adalah penyebab melambungnya harga. Khusus untuk jagung, permintaan yang tinggi dari China menjadi pemicu utama inflasi harga pangan jenis ini.
Berbeda dengan harga sereal lain yang naik, harga beras justru stagnan. Ketersediaan yang ketat dan pergerakan mata uang di beberapa eksportir Asia Tenggara diimbangi dengan permintaan yang terbatas dan tekanan panen di negara asal utama lainnya.
Untuk indeks harga produk susu di bulan November juga mengalami kenaikan. Namun peningkatan secara bulanannya cenderung lebih tipis ketimbang inflasi minyak nabati, gula dan biji-bijian.
Mengacu pada data FAO indeks harga susu naik 0,9% secara bulanan pada November lalu. Peningkatan ini dipicu oleh naiknya harga mentega dan keju olahan susu. Peningkatan penjualan ritel di Eropa bertepatan juga dengan tren musiman produksi susu yang menurun.
Terakhir, harga daging akhirnya menunjukkan adanya sinyal penguatan setelah mengalami tren koreksi sejak Desember tahun lalu. Harga sapi, babi hingga domba mengalami kenaikan akibat tingginya permintaan impor dari China.
Namun harga daging ayam justru melemah seiring dengan lemahnya permintaan dan kenaikan pengiriman dari negara-negara produsen.
Tren naiknya harga komoditas pangan juga terjadi di Tanah Air. Baik komoditas pangan yang berasal dari peternakan maupun hortikultura kompak melambung dan menyebabkan inflasi sejak Oktober.
Pada bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi mulai merangkak naik lagi dengan peningkatan sebesar 0,28% (mom) dan 1,59% (yoy). Inflasi tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober yang hanya 0,07% (mom) dan 1,44% (yoy).
Pos makanan, minuman dan tembakau menyumbang inflasi sebesar 0,22% pada November lalu. Pos ini mencatatkan inflasi sebesar 0,86% dibanding bulan sebelumnya dan 2,87% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Komoditas yang dominan memberikan andil/sumbangan inflasi, yaitu daging ayam ras sebesar 0,08%, telur ayam ras dan cabai merah masing-masing sebesar 0,04%, bawang merah sebesar 0,03%, tomat, bawang putih, cabai rawit, dan minyak goreng masing-masing sebesar 0,01%.
Apabila mencermati pergerakan harganya di pekan pertama Desember, ada beberapa komoditas pangan yang harganya masih membandel. Meski turun harga daging ayam ras segar di pasar tradisional Tanah Air rata-ratanya masih di atas Rp 34 ribu per kilogram.
Harga bawang merah juga agak sedikit jinak jika dibandingkan dengan awal bulan November. Namun harga bawang merah masih belum turun dari kisaran Rp 37 ribu per kilogram.
Sementara itu harga cabai merah dan cabai rawit tercatat naik lebih dari 10% jika dibandingkan dengan awal bulan November lalu. Di pasar tradisional nusantara, harga rata-rata cabai merah dan cabai rawit merah sudah merangkak mendekati Rp 50 ribu per kilogram, sedangkan cabai rawit hijau sudah menyentuh Rp 38 ribu per kilogram.
Secara musiman, harga komoditas pangan umumnya menguat jelang akhir tahun karena adanya libur panjang Natal dan tahun baru yang dicirikan dengan meningkatnya permintaan.
Meski libur akhir tahun dipangkas tiga hari tetapi tren libur panjang memang cukup untuk membuat harga bahan pangan pokok terbang. Fenomena ini juga terjadi saat lebaran Mei lalu. Bahkan saat sedang ada PSBB, harga pangan pun melambung tinggi.
Selain dari sisi permintaan yang umumnya meningkat, ada faktor lain yang lebih berperan dalam mendongkrak harga bahan pangan yaitu dari sisi pasokan dan distribusi. Faktor cuaca juga memberikan andil terhadap melambungnya harga komoditas hortikultura.
Tahun ini Indonesia juga kedatangan tamu yaitu La Nina. Fenomena perubahan iklim ini menurut BMKG berpotensi mendatangkan hujan yang 40% lebih lebat dari kondisi normal. La Nina diproyeksikan bakal melanda seluruh wilayah Indonesia setidaknya sampai akhir tahun dan baru mereda bulan Februari tahun depan.
Dampak dari perubahan cuaca yang terkait dengan La Niña pada ketahanan pangan sulit untuk diprediksi. Secara historis, peningkatan curah hujan berdampak negatif pada produksi pertanian di beberapa daerah dan positif pada daerah lainnya.
Namun, perubahan cuaca cenderung berdampak negatif terhadap akses pangan dan situasi ketahanan pangan sampai pada mata pencaharian kelompok yang paling rentan.
Curah hujan yang tinggi juga membuat penanaman komoditas tertentu yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca seperti cabai semakin sulit serta menghambat proses distribusi. Alhasil pasokan di pasar pun ikut menipis dan harganya pun melambung.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Di RI Harga Cabai Lagi Pedas, Harga Pangan Global 'Terbang'