Mengupas Kelas Standar BPJS Rp 75.000, Apa Saja Fasilitasnya?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 December 2020 11:37
BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menargetkan kelas standar BPJS Kesehatan bisa diimplementasikan pada 2022 mendatang. Sampai saat ini Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) bersama otoritas terkait masih melakukan pengkajian penerapan kelas standar tersebut.

Adanya rawat inap kelas standar di dalam program BPJS Kesehatan akan menghapus sistem kelas 1,2 dan 3. Sehingga kelas standar hanya akan terbagi menjadi dua kriteria, yakni kelas untuk peserta Penerima Iuran Bantuan (PBI) dan kelas untuk peserta non-PBI.

Menteri Kesehatan Letnan Jenderal TNI (Purn) dr. Terawan Agus Putranto mengatakan, penerapan rawat inap kelas standar merupakan salah satu kebijakan yang masuk di dalam manfaat program JKN berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK).

Proses peninjauan manfaat JKN berbasis KDK dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, DJSN, BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, akademisi dan organisasi profesi.

"Implementasi secara bertahap kelas standar bertahap di RS Vertikal pada tahun 2022," ujar Terawan saat menghadiri rapat dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (24/11/2020).

Anggota DJSN Muttaqien menjelaskan, pengkajian kelas standar masih terus dibahas antara DJSN, Kemenkes, Asosiasi Rumah Sakit, dan stakeholder lainnya.



Mengenai besaran iuran, Muttaqien mengatakan, sampai saat ini, pihaknya masih membuat beberapa simulasi dan menarik data yang ada di BPJS Kesehatan. Diakuinya, penetapan iuran ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati.

"Agar memperkuat ekosistem JKN untuk keberlanjutan dan peningkatan kualitas JKN. Juga masih menunggu keputusan final dari kebijakan manfaat terkait Kebutuhan Dasar Kesehatan, yang juga akan memiliki pengaruh kepada besaran iuran nanti," kata Muttaqien kepada CNBC Indonesia.

Sebelumnya, Saleh Partaonan Daulay, Anggota Komisi IX DPR RI pernah mengusulkan agar besaran iuran BPJS Kesehatan, jika kelas standar diterapkan, dengan nilai Rp 75.000. Karena berhitung berdasarkan aktuaria kelas 3 dan kelas 2.

"Secara umum, mungkin bisa dibayangkan itu kelas standar antara kelas 3 dan kelas 2. Di atas kelas 3, tapi tidak sampai kelas 2," kata Saleh kepada CNBC Indonesia.

Untuk diketahui, penerapan kelas standar merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang seharusnya kelas standar sudah bisa diterapkan 2004 silam. Namun, proses penyusunan kriteria baru berlangsung sejak 2018 lalu.

Kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan artinya, semua fasilitas dan layanan kesehatan akan disamaratakan, tidak ada sistem kelas 1, 2, dan 3, yang selama ini berjalan.

Kendati masih dalam proses pengkajian, ada 11 kriteria dalam penetapan kelas standar BPJS Kesehatan.

Anggota DJSN Muttaqien menjelaskan, pengkajian kelas standar masih terus dibahas oleh DJSN, Kemenkes, asosiasi RS, dan stakeholder lainnya.

Penerapan kelas standar, kemungkinan akan dibagi ke dalam dua kelas, yakni Kelas A yang diperuntukkan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) dan Kelas B diperuntukkan untuk peserta Non-PBI JKN.

Dari ke-11 kriteria tersebut ada dua perbedaan antara Kelas A dan Kelas B. Misalnya, di Kelas A, minimal luas per tempat tidur (dalam meter persegi/m2) adalah 7,2 m2 dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan. Sementara di Kelas B luas per tempat tidur 10m2, dengan jumlah maksimal tempat 4 tidur per ruangan.

Adapun 9 kriteria kelas standar A dan B lainnya memiliki konsep yang sama, yakni:

1. Bahan bangunan tidak boleh memiliki porositas yang tinggi.
2. Jarak antar tempat tidur 2,4 meter. Antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter, dengan standar tempat tidur semi elektrik.
3. Disediakan satu nakas atau meja kecil per tempat tidur.
4. Suhu ruangan antara 20-26 derajat celcius.
5. Kamar mandi di dalam ruangan. Kamar juga memiliki standar aksesibilitas, misalnya memiliki ruang gerak yang cukup untuk pengguna kursi roda, dilengkapi pegangan rambat (handrail), dan sebagainya.
6. Rel pada tirai dibenamkan atau menempel di plafon dan bahan tidak berpori.
7. Menjamin pertukaran udara untuk mekanik minimal pertukaran 6 kali per jam untuk ventilasi alami
8. Mengoptimalkan pencahayaan alami. Jika pencahayaan buatan, maka intensitas pencahayaannya 250 lux untuk penerangan dan 50 lu untuk tidur.
9. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan; minimal 2 stop kontak dan tidak boleh percabangan/sambungan langsung tanpa pengamanan arus, outlet oksigen, dan nurse call yang terhubung dengan nurse.

Dari 11 kriteria yang sudah disusun itu, kata Muttaqien, pihak RS menyatakan paling tidak butuh waktu untuk menyesuaikan. RS swasta misalnya, mengusulkan paling tidak butuh waktu 6 bulan sejak peraturan diterapkan.

Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni mengatakan, pihaknya telah melakukan forum group discussion (FGD) oleh berbagai rumah sakit, baik rumah sakit publik dan swasta. Mulai dari regional barat, tengah, dan timur. Hasil FGD dengan antar RS tersebut, hasilnya, 72% RS setuju, 16% RS tidak setuju, dan 12% tidak tahu.

"Yang belum menyetujui, karena agak concern dengan kesiapan infrastruktur dan harus melakukan tahapan secara baik. Sementara yang 12% tidak tahu akan diperbaiki dengan konsultasi publik," ujar Choesni saat menghadiri rapat dengan Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020).

Sampai saat ini, DJSN memiliki empat opsi skenario pentahapan kelas standar.

Skenario pertama, kelas standar dilakukan di RS vertikal, RS pemerintah lainnya dan RS swasta. Skenario kedua, kelas standar kemungkinan akan dilakukan di RS pemerintah dan RS swasta.

Sementara skenario ketiga, penerapan kelas standar disesuaikan dengan bed occupancy ratio (BOR). BOR merupakan angka yang menunjukan persentase penggunaan tempat tidur di unit rawat inap atau bangsal.

"Kabupaten/kota dengan BOR di bawah 40%, kabupaten/kota dengan BOR 41% sampai 69%, serta kabupaten/kota dengan BOR di atas 70%," jelas Choesni.

"Skenario keempat dengan melihat kesiapan pemerintah daerah, terkait supply side," lanjutnya.



Berdasarkan pengawasan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan di lapangan, sampai dengan Oktober 2020, fasilitas kesehatan (faskes) belum memahami bagaimana definisi dari kelas standar.

Oleh karena itu, pemerintah diminta untuk melakukan komunikasi, koordinasi dan sosialisasi secara insentif dan transparan khususnya dengan asosiasi rumah sakit dan pemerintah daerah.

"Informasi yang diperoleh, faskes belum tepat dan jelas mengenai rencana implementasi KDK dan kelas standar. Faskes membutuhkan persiapan, dan seperti apa kriterianya," jelas Ketua Dewan Pengawas BPJS Chairul Radjab Nasution saat melakukan rapat dengan Komisi IX DPR RI bulan lalu.

"Melakukan sosialisasi intensif kepada faskes terkait rencana penerapan KDK dan kelas standar agar tidak berdampak pada risiko reputasi bagi BPJS Kesehatan," lanjutnya.

Menurut Chairul, batas waktu peninjauan manfaat perlu disepakati seluruh stakeholder organisasi profesi dan asosiasi faskes. Juga mesti jelas seperti apa definisi, kriteria, dan ruang lingkup KDK dan kelas standar, khususnya dengan organisasi profesi dan asosiasi rumah sakit.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular