
Investasi Gasifikasi Batu Bara Dinilai Ekonomis, Ini Buktinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kini gencar mendorong program hilirisasi batu bara guna meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Salah satu program yang kini tengah dikembangkan yaitu proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang bisa dijadikan sebagai pengganti bahan bakar LPG yang kini masih banyak dipasok melalui impor.
Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan, perlu upaya untuk mencari pengganti LPG guna menekan impor, salah satunya melalui hilirisasi batu bara.
Apalagi, lanjutnya, cadangan batu bara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak dan gas bumi. Status terakhir cadangan emas hitam tersebut tercatat sekitar 38 miliar ton. Dengan tingkat produksi sekitar 600 juta ton per tahun, usia cadangan batu bara Indonesia diperkirakan bisa mencapai sekitar 63 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
"Kebijakan pemerintah saat ini, mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batubara, salah satunya menjadi Dymethil Ether (DME) yang dapat digunakan sebagai substitusi LPG. LPG sendiri merupakan komoditi energi yang lebih dari 70% masih impor, sehingga konsumsinya perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," ungkap Dadan seperti dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, Senin (07/12/2020).
Dalam rangka mendorong kebijakan hilirisasi batu bara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Product, dengan kapasitas input batubara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME per tahunnya.
Namun, pada November 2020 lalu terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think-tank yang menyebutkan bahwa proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar US$ 377 juta.
Menindaklanjuti kajian tersebut, Tim Kajian Hilirisasi Batu Bara Balitbang ESDM melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think-tank dengan uji kelayakan (Feasibility Study/ FS) PTBA, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan efek berganda (multiplier effect) dari proyek.
Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think-tank tersebut sebesar US$ 365 per ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat permintaan energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada uji kelayakan PTBA sekitar US$ 600 per ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir.
"Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME," ujarnya.
Perbedaan lainnya yaitu terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think-tank sebesar US$ 30 per ton, sedangkan pada uji kelayakan PTBA sekitar US$ 21 per ton yang merupakan harga batu bara PTBA kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batu bara, terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, di mana FS PTBA lebih efisien.
Metode perhitungan yang digunakan lembaga think-tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar US$ 300 per ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.
Sedangkan PTBA telah melakukan studi kelayakan komprehensif dengan asumsi data yang menghasilkan keekonomian proyek dengan Net Present Value (NPV) US$ 350 juta dan Internal Rate of Return (IRR) sekitar 11%, sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu, lanjutnya, FS PTBA juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya.
Selain keekonomian proyek, setidaknya terdapat enam poin dampak ekonomi dari hilirisasi batu bara untuk DME, antara lain:
1. DME meningkatkan ketahanan energi nasional dan mengurangi ketergantungan impor LPG. Dengan penggunaan DME, akan menekan impor LPG hingga 1 juta ton LPG per tahun (kapasitas produksi DME 1,4 juta ton per tahun).
2. Menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menghemat Neraca Perdagangan hingga Rp 5,5 triliun per tahun.
3. Akan menambah investasi asing yang masuk ke Indonesia sebesar USD2,1 miliar (sekitar Rp 30 triliun).
4. Pemanfaatan sumber daya batu bara kalori rendah sebesar 180 juta ton selama 30 tahun umur pabrik.
5. Adanya efek berganda (multiplier effect) berupa manfaat langsung yang didapat pemerintah hingga Rp 800 miliar per tahun.
6. Pemberdayaan industri nasional yang melibatkan tenaga lokal dengan penyerapan jumlah tenaga kerja sekitar 10.570 orang pada tahap konstruksi dan 7.976 orang pada tahapan operasi.
Selain itu, dalam mendukung implementasi substitusi LPG ke DME, Lemigas Balitbang ESDM telah melakukan uji coba terkait kompor DME.
"Hasil uji coba kami menunjukkan bahwa efisiensi kompor meningkat dari rata-rata 61,9% dengan penggunaan LPG, menjadi 73,4% apabila menggunakan DME, sehingga keperluan DME untuk kebutuhan memasak terjadi penurunan, lebih rendah dibandingkan kebutuhan kalori teoritisnya," tambah Dadan.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hingga 2024, 1 Juta Ton Batu Bara Ditargetkan Buat Gasifikasi
