Jangan Pada Korupsi! Rakyat Terkhianati, Investor pun Lari

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
07 December 2020 14:32
Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Menteri Sosial RI Juliari P. Batubara (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua menteri kabinet kerja jilid II Joko Widodo (Jokowi) harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang merupakan kader Partai Gerindra. Kurang dari dua pekan berselang giliran Menteri Sosial Juliari Batubara yang merupakan kader PDIP.

KPK menetapkan Edhy Prabowo sebagai salah satu tersangka tindak pidana korupsi perihal ekspor benur lobster. Edhy dilaporkan telah menerima uang senilai Rp 3,4 miliar dari hasil pengaturan izin ekspor benur lobster. 

Uang tersebut kemudian digunakan oleh Edhy untuk membiayai keperluannya selama di Honolulu, Hawai. Sebagian uangnya telah dibelikan barang belanjaan mewah seperti jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Di samping itu pada sekitar bulan Mei 2020, Edhy Prabowo juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari Suhajito melalui Safri dan Amiril Mukminin. Selain itu, Safri dan Andreau Pribadi pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp 436 juta dari Ainul Faqih.

Mengaku menyesali perbuatannya, Edhy langsung mengundurkan diri dari jabatan wakil ketua umum Partai Gerindra dan Menteri Kelautan dan Perikanan yang kemudian digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri ad interim dan selanjutnya diganti dengan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.

Berbeda dengan Edhy yang tertangkap oleh KPK, Juliari Batubara memilih menyerahkan diri ke KPK. Kasus yang menjeratnya terkait dengan pengadaan bantuan sosial untuk Covid-19. 

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, kasus diawali adanya pengadaan barang berupa bansos penanganan Covid-19. Ada paket sembako di Kementerian Sosial tahun 2020 dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.

Pada tahapan ini, Mensos Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai pejabat pembuat komitmen dengan cara penunjukan langsung rekanan. KPK menduga ada kesepakatan sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.

Firli mengatakan, untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Keduanya melakukan kontrak pekerjaan dengan suplier yang salah satunya PT RPI yang diduga milik Matheus.

KPK menyebut, Mensos Juliari Batubara mengetahui langsung penunjukan perusahaan milik anak buahnya. Ada paket bansos Covid-19 periode pertama, diduga diterima fee miliaran rupiah dan turut diterima Mensos Juliari.

"Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ujar Firli.

Firli menerangkan, pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Mensos Juliari Batubara untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi Mensos. Ada uang sekitar Rp 8,8 miliar yang diduga dipakai untuk keperluan Mensos Juliari Batubara.

Melihat anak buahnya ditangkap oleh KPK, RI-1 Jokowi tak akan melindungi dan membiarkan proses hukum berlanjut. Eks Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta tersebut kembali mewanti-wanti kepada anak buahnya dan siapapun itu untuk tidak korupsi. 

Miris sekali sebenarnya harus mengatakan bahwa korupsi seolah sudah menjadi budaya di Tanah Air. Korupsi dilakukan oleh pejabat tingkat tinggi sampai pejabat rendah. Korupsi seolah telah mengakar di kehidupan sehari-hari bangsa ini. 

Transparency International dalam laporan terbarunya yang bertajuk Corruption Perception Idex (CPI) tahun 2019 mendudukkan Indonesia berada di peringkat 85 dari 180 negara. Indonesia naik 4 peringkat dari tahun 2018 yang berada di posisi 89. 

Meski mengalami kenaikan peringkat, skor indeks persepsi korupsi Indonesia masih berada di bawah rata-rata global yang berada di 43. Sementara skor Indonesia hanya berada di angka 40 saja. 

Adanya korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi di suatu negara. Di negara seperti Indonesia yang serba defisit dan membutuhkan pembiayaan eksternal, keberadaan korupsi membuat investor kabur dan tak mau menanamkan modalnya di Tanah Air. 

Korupsi dicap sebagai masalah paling menghambat dalam sektor usaha menurut World Economic Forum (WEF). Selagi ada korupsi yang merajalela dibarengi dengan birokrasi pemerintah yang berbelit-belit serta tumpang tindih, niscaya akan membuat investor alergi. 

Artinya untuk menarik investasi asing guna menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya serta mendorong pertumbuhan ekonomi, tidak hanya deregulasi Undang-Undang dan debirokratisasi saja yang perlu diupayakan. Pencegahan dan penindakan tegas atas setiap kasus korupsi juga mutlak diperlukan.

Dalam laporan yang bertajuk 'Enhancing Government Effectiveness and Transparency. The Fight Against Corruption' yang dipublikasikan pada September 2020 lalu, lembaga keuangan global Bank Dunia melihat ada enam aspek yang dapat meningkatkan efektivitas dalam memberantas korupsi. 

Pertama tentu berasal dari pemimpinnya. Untuk memberantas tindak pidana korupsi, pemimpin terutama di level senior baik di suatu perusahaan maupun departemen atau kementerian harus punya tekad kuat untuk mewujudkan tata kelola atau pemerintahan yang punya integritas tinggi. 

Kunci kedua terletak pada kapasitas institusi. Suatu negara tentunya harus memiliki institusi yang menunjang proses check & balance. Tanpa adanya institusi yang kuat, tentunya tindak pidana korupsi akan semakin sulit diberantas. Dalam konteks kasus di RI, posisi KPK seharusnya diperkuat dan tidak dilemahkan. KPK juga harus independen dari campur tangan politik manapun. 

Poin ketiga terkait dengan insentif. Korupsi hadir karena adanya insentif untuk melakukan tindakan amoral tersebut. Risiko ditangkap karena korupsi jauh lebih kecil dari keuntungan yang didapatkan. Tentunya celah ini harus ditutup dengan payung hukum yang jelas, tegas dan tak tebang pilih. 

Keempat, teknologi bisa jadi enabler untuk meminimalkan potensi terjadinya tindakan korupsi yang tidak diinginkan. Dengan adanya teknologi bisa memicu transparansi sehingga setiap transaksi dan interaksi mudah dilacak.

Hal ini juga berkaitan dengan persepsi risiko yang lebih tinggi dari sudut pandang pihak yang berpotensi melakukan korupsi. Di Indonesia, adopsi penggunaan teknologi untuk memberantas korupsi melalui e-budgeting, e-procurement dan kebijakan lain sudah ada tetapi masih perlu ditingkatkan lagi. 

Faktor kelima, tentunya adalah kebijakan publik yang transparan. Akses terhadap kebijakan pemerintah yang terbuka dan merata membuat pengawasan menjadi lebih mudah dilakukan. Di sisi lain masyarakat juga dirangsang serta diberdayakan untuk ikut serta dalam pengawasan. 

Terakhir yakni yang keenam menitikberatkan pada faktor kolaborasi. Apabila suatu lembaga bertindak sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi dan kerja sama, maka mustahil korupsi bisa diberantas.

Untuk itu peran kolaborasi antar lembaga bahkan sampai level internasional sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesuksesan upaya pemberantasan korupsi.

Sebenarnya enam langkah di atas sudah mulai dilakukan di Indonesia. Namun tentu butuh evaluasi dan perbaikan di segala aspeknya. Adanya perbaikan pada tataran regulasi maupun implementasi bakal menjadi tolok ukur nyata upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nasib Menteri Edhy Prabowo dkk Ditentukan Beberapa Jam Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular