
Hilangnya Stigma Negatif & 3T Dapat Cegah Kematian Covid-19

Jakarta, CNBC Indonesia- Dalam penanganan Covid-19 pemerintah dan Satgas penanganan Covid-19 memiliki peran besar dalam sosialisasi upaya pencegahan dan meningkatkan pelayanan fasilitas kesehatan. Sosialisasi juga harus terus dilakukan untuk menghindari stigma negatif dari masyarakat terhadap pasien Covid-19, dan tenaga kesehatan.
"Kalau ada stigma negatif maka masyarakat akan takut ke rumah sakit dan lambat sekali memeriksakan diri hanya kalau terpaksa. Kalau tidak ada stigma negatif maka bisa cepat dirawat, tanpa rasa takut. Kalau dia cepat dirawat maka bisa lebih cepat sembuh," jelas Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, Jumat (04/12/2020).
Angka kematian akan tinggi jika rumah sakit tidak mampu menyembuhkan pasien Covid-19. Adanya stigma negatif ini juga menyulitkan dilakukan tracing dan testing terhadap kontak erat pasien.
"Padahal pemerintah mau menolong, kalau sakit ya dirawat. Begitu juga kontak erat jangan menghindar, langsung saja dites," tambahnya.
Menanggapi ledakan kasus terjadi karena adanya peningkatan testing, Wiku menilai sebanyak apapun tes yang dilakukan jika sudah tidak ada penularan maka jumlah kasus positif pun rendah. Nyatanya positivity rate Indonesia masih tinggi di atas standar aman yang ditentukan WHO yakni 5%.
Wiku menilai tingginya penularan karena penerapan protokol kesehatan yang masih belum disiplin, bahkan cenderung menurun di setiap momen libur panjang.
"Kalau angka penularan naik terus berarti memang penularannya tinggi, kalau kita tidak melakukan pencegahan penularan melalui protokol kesehatan (#pakaimasker, #jagajarak menghindari kerumunan, dan #cucitangan dengan sabun) berapapun mau dites akan positif. Jadi yang harus dilakukan bukan hanya 3T (test, trace, treat) tapi 3M jadi kunci, jangan sampai kasus muncul dan dirawat menjadi kasus," tegas Wiku.
Dia menyayangkan di setiap momentum libur panjang, penerapan protokol kesehatan justru semakin rendah, terutama untuk penggunaan masker dan menjaga jarak. Jika angka kepatuhan ini terus turun, Wiku khawatir akan terjadi lonjakan kasus yang sangat tinggi.
Hal ini terbukti dari 3 libur panjang, semuanya menimbulkan lonjakan kasus 10-14 hari kemudian, dan bertahan 1-2 minggu setelahnya. Tidak tanggung-tanggung berdasarkan analisa Satgas, kenaikannya bisa sampai 50-100% dari biasanya terutama dari libur panjang terakhir.
"Indonesia menjadi satu-satunya yang mencatat perubahan perilaku, karena logikanya jangan sampai ada korban dan jangan sampai menularkan. Kita punya sistem yang membaca perubahan perilaku itu," ujarnya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Baru Sebut China Sudah Kaji Covid Sebelum Pandemi Meledak