Jokowi Sebut Ancaman Pengangguran Massal, Ngeri Banget?

Tirta Gilang C, CNBC Indonesia
04 December 2020 15:32
Resesi Malaysia. AP/Vincent Thian
Foto: Resesi Malaysia. AP/Vincent Thian

Nyatanya dalam menghadapi ledakan pengangguran Indonesia tidak sendirian. Tak ada negara di dunia manapun yang bisa menahan peningkatan jumlah orang yang menganggur saat resesi ekonomi terjadi di tahun ini. 

Negara-negara anggota G20 pun yang memiliki sumbangsih terbesar terhadap output global pun tak sanggup menahan lonjakan angka penganggur. Lima negara anggota G20 bahkan harus menghadapi jumlah pengangguran yang mencapai digit ganda alias lebih dari 10%. 

Lima negara tersebut adalah Afrika Selatan, Spanyol, Brazil, Turki dan Argentina. Tingkat pengangguran tertinggi tercatat di Afrika Selatan yang tembus angka 30,8% kemudian diikuti Spanyol di posisi kedua dengan 16,26% dan Brazil di posisi ketiga dengan 14,6%. 

Ada kecenderungan negara-negara yang kinerja ekonominya terkontraksi dalam memiliki tingkat pengangguran yang lebih banyak. 

Tingkat pengangguran global memang naik drastis. Di beberapa negara maju meski ekonomi mengalami kontraksi yang parah tetapi tingkat penganggurannya tidak setinggi di negara-negara berkembang. 

Hal tersebut tentu terkait dengan struktur ketenagakerjaan di negara tersebut. Saat lockdown diterapkan pada awal Maret lalu untuk membendung peningkatan kasus Covid-19 yang masif semua aktivitas beralih ke rumah masing-masing termasuk bekerja. 

Di negara berkembang banyak pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dari rumah sehingga kebijakan lockdown dan work from home sangat berdampak pada peningkatan kehilangan lapangan kerja. Ini berbeda dengan negara-negara maju yang banyak pekerjaannya bisa dilakukan secara remote.

Namun tetap saja hal ini tidak bisa menutupi fakta bahwa ledakan pengangguran terjadi di tahun ini. 

Perkiraan total kerugian jam kerja pada kuartal kedua tahun 2020 (relatif terhadap kuartal keempat tahun 2019) sekarang adalah 17,3%, atau setara dengan 495 juta pekerjaan setara penuh waktu (FTE). Angka tersebut direvisi naik oleh ILO dari perkiraan sebelumnya di 14,0% ( 400 juta pekerjaan FTE).

Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah adalah yang paling terpukul, setelah mengalami penurunan jam kerja yang diperkirakan mencapai 23,3% (240 juta pekerjaan FTE) pada kuartal kedua tahun ini.

Hilangnya jam kerja diperkirakan akan tetap tinggi pada kuartal ketiga tahun 2020, pada 12,1% atau 345 juta pekerjaan FTE. Selain itu, proyeksi revisi untuk kuartal keempat menunjukkan prospek yang lebih suram dari perkiraan sebelumnya.

Dalam skenario baseline, kerugian jam kerja pada kuartal akhir tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 8,6% atau 245 juta pekerjaan FTE.

Kerugian jam kerja yang tinggi ini mengakibatkan kerugian besar dalam pendapatan tenaga kerja. Nilai kerugian pendapatan tenaga kerja (sebelum memperhitungkan langkah-langkah pemberian bantuan oleh pemerintah) ditaksir mencapai 10,7% (yoy) selama tiga kuartal pertama tahun 2020 secara global menjadi US$ 3,5 triliun, atau 5,5% dari produk domestik bruto (PDB) global untuk tiga kuartal pertama tahun 2019.

Kehilangan pendapatan tenaga kerja tertinggi terjadi di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Berdasarkan estimasi ILO kerugian ditaksir mencapai 15,1% di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah dan 11,4% di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas.

Inilah yang membuat resesi global tahun ini menjadi resesi yang sangat mengerikan. Bahkan lebih mengerikan ketimbang pada krisis keuangan global 2008 silam.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/twg)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular