Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, masih ada kasus kecurangan (fraud) dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Hal ini disebabkan masih ada banyak peserta yang melakukan penipuan.
Hal ini terlihat dari hasil audit yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 2019 lalu dan menemukan ada 1% potensi fraud di program JKN-KIS BPJS Kesehatan.
"Tetapi kami tidak akan mentolerir angka yang masih berjumlah kecil ini karena tidak menutup kemungkinan persentase potensi fraud akan semakin bertambah apabila kami tidak segera melakukan upaya pencegahan," ujar Fachmi dalam buku BPJS Kesehatan edisi 87 yang dikutip, Jumat (4/12/2020).
Adapun langkah yang akan ditempuh BPJS Kesehatan untuk mencegah potensi fraud semakin banyak adalah dengan teknologi. Memanfaatkan teknologi dinilai akan sangat membantu terutama dalam pendataan.
"Pemanfaatan teknologi informasi dalam sistem layanan kesehatan adalah upaya kami untuk menjawab isu fraud yang selama ini masih terjadi di lapangan," jelasnya.
Apalagi, ia melihat potensi fraud pada Program JKN-KIS masih mungkin terjadi karena kompleksitas program dan dana penjaminan manfaat yang besar dalam Program JKN-KIS. Ini tentu berpotensi juga menyebabkan terjadinya tindakan inefisiensi yang mengarah pada kecurangan.
"Di luar dari pemanfaatan teknologi informasi untuk mencegah potensi kecurangan yang terjadi, kami juga terus berupaya melakukan hal-hal lain yang diharapkan dapat menutup celah-celah kecurangan. Upaya pembentukan Tim Pencegahan Kecurangan hingga level Kabupaten/Kota juga terus kami jalankan," kata dia.
Halaman Selanjutnya >> Sinergi Atas Saran KPK
Selain itu, BPJS Kesehatan juga terus menjalin sinergi dengan berbagai pihak untuk memastikan upaya pencegahan ini dapat berjalan optimal yaitu melalui Tim Bersama Penanganan Kecurangan sejak tahun 2017 dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Kesehatan.
Dari sisi regulasi, BPJS Kesehatan juga masih terus mengupayakan pelaksanaan Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Sistem Pencegahan Kecurangan dapat berjalan dengan optimal.
"Kami menyadari bahwa sistem, sinergi dan regulasi yang kami bangun tentu memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak," tegas Fachmi.
Sementara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyelesaikan LHP alias Laporan Hasil Pemeriksaan atas pengelolaan kepesertaan, pendapatan iuran, dan beban jaminan kesehatan dana jaminan sosial Tahun 2017-2019 pada BPJS Kesehatan.
BPK menemukan beberapa sengkarut yang masih ada di BPJS Kesehatan walaupun sudah sesuai kriteria.
"Hasil pemeriksaan menyimpulkan bahwa pengelolaan kepesertaan, pendapatan iuran, dan beban jaminan kesehatan dana jaminan sosial telah sesuai kriteria dengan pengecualian," tulis BPK dalam laporannya dikutip Jumat (20/11/2020).
BPK melaporkan masih terjadi permasalahan signifikan yang ditemukan dalam pengelolaan kepesertaan, pendapatan iuran, dan beban jaminan kesehatan dana jaminan sosial pada BPJS Kesehatan berkaitan dengan kelemahan pengendalian intern.
Pertama
Pemutakhiran dan validasi data kepesertaan BPJS Kesehatan belum dilakukan secara optimal, seperti data kepesertaan dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) tidak valid, NIK ganda, serta daftar gaji atau upah peserta Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) belum mutakhir.
"Hal ini mengakibatkan pembayaran kapitasi berdasarkan jumlah peserta yang tidak valid berpotensi membebani keuangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan BPJS Kesehatan, serta pembayaran iuran PPNPN dan PPU berpotensi tidak sesuai dengan penghasilan yang sebenarnya."
Kedua
Kolektibilitas iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) cenderung menurun dan penyisihan piutang iuran tak tertagih peserta PBPU dan peserta Pekerja Penerima Upah dari Badan Usaha (PPU BU) cenderung meningkat.
"Akibatnya, defisit dana jaminan sosial kesehatan untuk membiayai penyelenggaraan progam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan selalu bertambah."
Ketiga
Penganggaran iuran peserta PPU Penyelenggara Negara/Daerah dan Selain Penyelenggara Negara/Daerah (Kepala Desa dan Perangkat) melalui mekanisme Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Dana Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) tidak didukung data kepesertaan dan iuran yang memadai.
"Permasalahan tersebut mengakibatkan BPJS Kesehatan tidak memperoleh informasi riil penghasilan PPU Penyelenggara Negara/Daerah yang berpengaruh ke besaran iuran yang seharusnya, dan hilangnya kesempatan memperoleh tambahan pendapatan iuran Tahun 2019 sebesar Rp733,00 miliar, karena belum seluruh kepala desa dan perangkatnya terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan."
Keempat
Pengelolaan beban pelayanan kesehatan belum sepenuhnya mampu mencegah terjadinya pembayaran beban pelayanan kesehatan yang tidak tepat.
"Permasalahan tersebut mengakibatkan Aplikasi Vedika berpotensi tidak dapat mencegah terjadinya pembayaran beban pelayanan kesehatan yang tidak tepat dan adanya potensi penyalahgunaan kartu BPJS untuk penerbitan surat eligibilitas peserta yang tidak menggunakan finger print oleh pasien yang tidak berhak."
Kelima
Verifikasi klaim layanan kesehatan BPJS Kesehatan belum didukung dengan sistem pelayanan kesehatan dan sistem kepesertaan yang terintegrasi dengan andal. Hal ini mengakibatkan potensi membebani keuangan Dana Jaminan Sosial BPJS Kesehatan sebesar Rp52,33 miliar dan potensi penyimpangan atas pembayaran klaim pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta yang pernah berstatus non aktif dan dinyatakan meninggal dunia