Jakarta, CNBC Indonesia - Ada yang menarik dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2020 hari ini, Kamis (3/12/2020). Dalam kesempatan, Kepala Negara mengucap rasa syukur karena kasus aktif di Indonesia lebih rendah dari rata-rata dunia.
"Kerja keras tersebut mulai menampakkan hasil. Sinyal positif sudah terlihat. Alhamdulillah laporan yang saya terima per hari ini kasus aktif Covid-19 di Indonesia lebih rendah dari rata-rata dunia," katanya.
Data Jokowi menunjukkan kasus aktif di Indonesia 12,72% sedangkan rata-rata dunia mencapai 28,04%. Ia juga menggarisbawahi soal angka kesembuhan.
"Tingkat kesembuhan semakin membaik dan mencapai angka 84,02%. Lebih baik dari angka kesembuhan rata-rata dunia 69,56%," terang Jokowi.
Mengacu pada data real time John Hopkins University CSSE yang per pukul 10:28 WIB, total penderita Covid-19 di Indonesia mencapai 549.508 orang secara kumulatif.
Jumlah pasien Covid-19 yang sembuh mencapai 458.880 orang dan pasien yang masih tercatat aktif jumlahnya sebanyak 73.429 orang. Itu artinya tingkat kesembuhan berada di angka 83,5% dan tingkat kasus aktif di angka 13,4%.
Secara rata-rata jika dibandingkan dengan kasus aktif di dunia memang lebih rendah. Namun jangan senang dulu. Kasus aktif didefinisikan sebagai jumlah orang yang masih dinyatakan mengidap Covid-19 sampai hari ini dan belum dinyatakan sembuh.
Artinya harus ada kejelasan juga parameter kesembuhan dari para penderita Covid-19. Apa sebenarnya definisi sembuh? Bagi penderita bergejala mungkin harus dites berulang kali sambil hasil swab PCR-nya negatif, atau mungkin jika level threshold cycle PCR-nya telah melewati ambang batas tertentu.
Bagi orang tanpa gejala (OTG) pada beberapa kasus diminta untuk isolasi mandiri selama 2 pekan dengan mempertimbangkan waktu inkubasi dari virus. Pada banyak kasus kaum OTG ini setelah menjalani isolasi mandiri tidak dilakukan tes lagi dan langsung dinyatakan sembuh.
Artinya di sini harus diperhatikan betul bahwa parameter kesembuhan itu apa saja. Harus jelas dan terukur untuk menghindari bias yang nantinya justru akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.
Boleh saja kasus aktifnya terus menurun. Namun kasus aktif hanyalah satu indikator dari sekian banyak indikator lain yang digunakan untuk melihat perkembangan pandemi Covid-19.
Kalau hanya melihat dari satu sisi saja maka kesimpulan yang diambil tentulah tidak komprehensif mengingat wabah Covid-19 belum benar-benar bisa dijinakkan di Tanah Air.
Toh, jika tren pertambahan kasus per harinya masih jauh lebih tinggi dari jumlah orang yang sembuh maka kasus aktif tentunya akan meningkat lagi. Melihat tren pertambahan kasus belakangan ini kecenderungannya malah naik belakangan ini.
Kasus per hari sempat turun dari angka 4.000/hari menjadi ke angka 3.000-an/hari. Namun setelah itu kasus sempat tembus lebih dari 6.200 dalam sehari pada pekan lalu dan kini berada di atas 5.000 kasus tambahan/hari.
Bahkan ketika pertambahan kasus dan kurva epidemiologi Indonesia disejajarkan dengan kurva negara-negara lain yang juga menyumbang kasus infeksi Covid-19 secara kumulatif terbanyak di dunia pun, kita tak bisa bangga dan tenggelam dalam euforia.
Apabila negara-negara lain sekarang disibukkan dengan gelombang kedua wabah Covid-19, Indonesia masih berkutat dengan gelombang pertama yang tak kunjung usai. Puncak gelombang pertama pun belum terlihat.
Berbeda dengan negara-negara lain yang kurva epidemiologinya sudah benar-benar melandai, kasus di RI tidak demikian lho. Pertambahan kasus sempat melandai di akhir Oktober tetapi lebih diakibatkan oleh jumlah tes yang mengalami penurunan.
Meski secara tren tes Covid-19 yang dilakukan di dalam negeri terus mengalami kenaikan tetapi jumlah tes yang dilakukan setiap harinya cenderung fluktuatif dan inkonsisten.
Berat memang untuk menjaga konsistensi jumlah tes Covid-19 di Tanah Air ketika akses tes yang akurat tidak merata, belum lagi masalah logistik dan geografis. Apalagi contact tracing juga tidak dilakukan secara ketat.
Jumlah tes per hari rata-ratanya memang sudah menyentuh angka 35.000 orang. Namun jika melihat size kasus dan populasi penduduknya jumlah tes yang dilakukan di Indonesia masih sangatlah kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang populasi dan jumlah kasusnya besar.
Dengan 269 juta penduduk Indonesia, jumlah tes yang dilakukan per 1 Desember lalu hanya 14/1000 orang. Jumlah ini jauh lebih kecil dari negara-negara Asia Tenggara lain. Bahkan lebih kecil juga dari Filipina yang mencapai 50/1000 orang.
Pernyataan Pak Jokowi soal kasus aktif yang rendah bisa jadi bahan renungan. Untuk saat ini kasus aktif boleh saja lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global, akan tetapi kalau itu lebih dikarenakan inkonsistensi dan rendahnya tes yang dilakukan serta parameter kesembuhan yang belum jelas apakah angka tersebut tidak menimbulkan tanda tanya?
Apakah angka tingkat kesembuhan tersebut valid dan representatif mewakili kondisi riil di lapangan? Harus benar-benar jeli dan kritis dalam melihat data dan angka seperti ini. Tidak bisa langsung ambil kesimpulan karena satu data pandemi antar indikator punya keterkaitan dan tidak bisa berdiri-sendiri untuk menjadi cerita yang utuh.
Sekarang mari kita tengok indikator lain untuk mendapatkan gambaran realita perkembangan Covid-19 di Tanah Air. Indikator yang digunakan kali ini adalah laju reproduksi virus (Rt). Apabila angkanya lebih dari 1 maka transmisi virus masih dapat terjadi.
Pada 25 November lalu dari 34 provinsi di Tanah Air ada 22 Provinsi yang memiliki laju reproduksi (Rt) di atas 1. Hari ini jumlahnya menurun menjadi 19 provinsi saja. Sekilas terlihat ada perbaikan.
Apalagi di DKI Jakarta. Pekan lalu nilai Rt ibu kota berada di angka 1,26. Per hari ini laju reproduksinya sudah turun ke bawah 1 atau tepatnya di angka 0,91. Namun ingat indikator Rt juga sangatlah dinamis.
Kenaikan dan penurunan laju reproduksi di berbagai provinsi di dalam negeri terbukti terjadi dengan rentang yang sangat lebar. Sebagai contoh di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pada pekan lalu nilai Rt berada di kisaran 0,8. Sekarang kembali berada di atas 1.
Melihat indikator ini artinya tidak menutup kemungkinan provinsi-provinsi yang tadinya memiliki nilai Rt < 1 bisa kembali menyentuh angka 1 atau lebih. Lagipula jika melihat lebih dari setengah provinsi di Tanah Air yang memiliki nilai Rt > 1, artinya transmisi virus masih bisa terus meningkat.
Jelas ini harus diwaspadai. Pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat dan law enforcement yang rendah bisa membuat semakin banyak orang berisiko untuk terinfeksi Covid-19 dan membuat kasus aktif bisa meledak.
Satu lagi, tingkat kasus aktif juga tidak hanya dilihat dari sudut pandang jumlah orang yang sembuh dan pertambahan kasus baru. Ada satu indikator lagi yang juga harus dilihat yaitu angka kematian.
Sampai sekarang jumlah orang yang meninggal akibat Covid-19 di dalam negeri sudah mencapai 17.199. Artinya Covid-19 di Indonesia memiliki tingkat fatalitas 3,1%. Apabila dibandingkan dengan 25 negara dengan kasus kumulatif terbanyak, tingkat kematian di Indonesia menduduki peringkat keenam.
Di peringkat pertama dengan tingkat kematian tertinggi ada Meksiko yang hampir menyentuh angka 10%. Kemudian disusul Iran yang mendekati 5%. Barulah Peru, Inggris dan Italia yang berada di atas 3,5%
Mirisnya pula, tren angka kematian di Indonesia juga mengalami peningkatan. Dalam dua pekan terakhir angka pertambahan kematian per hari melonjak dengan laju mencapai hampir 100%.
Pada 14 November lalu, rata-rata pertambahan kasus kematian per hari dalam kurun waktu sepekan tercatat mencapai 74 orang. Per kemarin angkanya sudah tembus 135 orang dan menjadi yang tertinggi sepanjang dilanda wabah Covid-19.
TIM RISET CNBC INDONESIA