
Libur Akhir Tahun Dikurangi, Pengusaha Hotel Kecewa Berat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengurangi waktu libur akhir tahun mendatang. Rencana tersebut mendapat respon keras dari kalangan pelaku usaha hotel.
Mereka mengaku kecewa jika pemerintah sampai membatalkan cuti bersama dan libur panjang pada akhir tahun mendatang. Pasalnya pengusaha hotel sudah sangat berharap banyak bisa mendapat perputaran uang dari siklus tahunan tersebut, sebagai pengganti libur Lebaran 2020 yang ditunda ke akhir tahun.
"Kenapa kecewa? Karena di setiap momentum liburan ada harapan bagi pelaku hotel dan restoran. Kalau ada pergerakan, ada pertumbuhan okupansi. Okupansi ini dibutuhkan pelaku usaha karena mereka memang butuh demand. Ini udah bulan ke-9 dan Desember masuk bulan ke-10 (masa pandemi)," kata Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran kepada CNBC Indonesia, Kamis (26/11/2020).
Bagi pelaku usaha perhotelan, harapan untuk mendapatkan omset atau perputaran uang dari momen liburan sudah diharap-harap sejak beberapa bulan silam. Terbitnya SKB 3 Menteri Nomor 440 Tahun 2020, 03 Tahun 2020 dan 03 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 728 Tahun 2019, Nomor 213 Tahun 2019, Nomor 01 Tahun Tahun 2019 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2020.
Aturan tersebut diteken oleh Menag Fachrul Razi, Menaker Ida Fauziyah, dan MenPAN-RB Tjahjo Kumolo pada 20 Mei 2020.
Keluarnya aturan tersebut memberi harapan bahwa akan ada libur panjang dan sektor pariwisata bakal kembali bergeliat. Sayangnya, harapan itu ada kemungkinan bakal pupus.
Alhasil, sektor ini bakal dibayangi sepi hingga beberapa bulan lagi. Bisa dibilang libur panjang akhir tahun adalah kesempatan terakhir pelaku usaha hotel meraup pendapatan.
"Mesti diingat, begitu masuk 2021 kondisi sudah low season, dan umum tiap tahun sampai 3 bulan ke depan dari Januari sampai Maret. Berarti akan terjadi 13 bulan low okupansi, itu permasalahan utama. Kebayang nggak mereka bisa bertahan. Ketika pemerintah mau buat kebijakan, nggak bisa pukul rata semua sektor," sebut Maulana.
Ia menyebut pengusaha hotel setuju untuk menurunkan angka positif Covid-19. Salah satu caranya dengan menerapkan protokol kesehatan di setiap tempat.
Sehingga, ia menilai untuk menurunkan angka kasus positif Covid-19. Maka seharusnya pemerintah bukan melarang liburnya, melainkan pengawasan dalam pelaksanaan protokol kesehatan.
"Sekarang permasalahannya perilaku masyarakat setiap ada pergerakan. Harusnya pemerintah melakukan review, trial, exercise setiap momen liburan, di mana setiap pergerakan terjadi, dari satu ke satu destinasi lain sama protokolnya, berjalan. Berarti bukan lari dari kenyataan untuk menghilangkan liburnya, tapi mengawasi pengawasan di lapangan, kok ini jadi naik," katanya.
Ia menilai seharusnya pemerintah bisa fokus dalam menerapkan skema new normal yang sudah berjalan sejak bulan Juni lalu, di mana perlu ada pengawasan dalam setiap aktivitas masyarakat. Pasalnya, sosialisasi dinilai tidak cukup untuk membuat masyarakat merasa patuh. Perlu ada pengawasan dan sanksi ketat yang jelas.
"Kenyataan di lapangan kan dilepas, iya kan? Kita lihat dimana-mana nggak terkontrol. Berarti belum mampu melakukan pengawasan, akhirnya diambil keputusan melarang dan melarang. Sementara nanti ada korban lagi tenaga kerjanya," sebut Maulana.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nikmat PNS: Dapat Cuti Bersama, Cuti Tahunan Tak Berkurang
