Walau Ada Vaksin, Dorong Ekonomi Tumbuh 5% Tetap Berat...

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
24 November 2020 14:57
Vaksin Covid-19. (AP/Andre Penner)
Foto: Vaksin Covid-19. (AP/Andre Penner)

Jakarta, CNBC Indonesia - Vaksin adalah satu-satunya tumpuan harapan tersisa untuk mengembalikan perekonomian global yang terkontraksi sepanjang tahun ini kala pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) merebak. Perkembangan progresif vaksin Covid-19 memang menggembirakan. Namun untuk vaksin bisa sampai ke tangan orang yang membutuhkan jalannya masih panjang.

Baru kali ini dalam sejarah umat manusia, proses pengembangan vaksin dilakukan secara paralel. Baru kali ini juga pemerintah, akademisi, institusi riset, korporasi hingga pemilik modal bekerja sama untuk menemukan sang juru selamat.

McKinsey & Company pada Juli lalu memperkirakan total nilai investasi untuk pengembangan vaksin sudah mencapai US$ 6,7 miliar. Sementara lembaga think tank global Oxfam menyebut butuh US$ 79 miliar untuk riset, produksi, pengadaan hingga distribusi vaksin secara global.

Konsekuensi kerja sama yang agresif dan timeline yang diperketat memang menjadikan pengembangan vaksin berlangsung lebih cepat tetapi harus dilihat juga risikonya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan sudah ada 10 kandidat vaksin yang memasuki uji tahap akhir. 

Bahkan beberapa di antaranya sudah melaporkan analisa awal hasil uji klinis tahap ketiganya. Di bulan ini saja sudah ada empat kandidat vaksin yang berada di fase akhir uji klinis melaporkan hasil yang menjanjikan.

Semua diawali oleh Pfizer dan BioNTech yang mengklaim bahwa kandidat vaksin yang mereka kembangkan ternyata memiliki tingkat keampuhan (efficacy) di atas 90%. Tak butuh waktu lama, giliran vaksin Rusia yakni Sputnik-V yang dikembangkan oleh Gamaleya Research Institute yang mengklaim punya efficacy rate 92%.

Seolah tak mau ketinggalan, Moderna Inc yang mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis molekul RNA pekan lalu merilis hasil uji klinis tahap ketiganya. Kandidat vaksin mRNA-1273 dinilai punya tingkat keampuhan sampai 94,5%. 

Seminggu kemudian ada AstraZeneca yang mengembangkan vaksin Covid-19 termurah dan terlaris yang mengklaim bahwa kandidat vaksin AZD1222 punya tingkat keampuhan dalam memproteksi seseorang dari Covid-19 di kisaran 70-90%. 

Sekilas kabar tersebut terdengar menjanjikan sampai-sampai membuat sumringah pasar keuangan. Harga aset-aset berisiko seperti saham mengalami apresiasi, perilaku risk aversion juga cenderung berkurang dengan aksi jual emas yang masif dan membuat harga aset safe haven tersebut terperosok. 

Optimisme bahwa vaksin akan mengembalikan hidup normal seperti sediakala juga membuat harga komoditas seperti minyak mentah mengalami kenaikan tajam sampai lebih dari 20% sepanjang November ini. 

Sebenarnya ada banyak hal yang perlu dicatat terkait vaksin. Masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab meski ada klaim vaksin yang dikembangkan dinilai aman dan efektif. 

Hasil studi yang dirilis kebanyakan masih hasil awal. Belum ada studi yang komprehensif. Agar bisa disetujui oleh otoritas kesehatan informasi mendetail soal keamanan dan kemanjuran vaksin tetap harus dipublikasikan dengan transparan. Analisa harus objektif terbebas dari kepentingan politis dan kalkukasi untung rugi. 

Kalaupun pada akhirnya ada beberapa vaksin Covid-19 yang goal dan diberi lampu hijau oleh otoritas kesehatan terkait untuk digunakan oleh publik, tantangan lain muncul. 

Saat ini ada kurang lebih 7,8 miliar orang di dunia. Apabila diasumsikan satu orang butuh dua kali suntikan (dua dosis) dengan tingkat pemborosan 15%, maka total vaksin yang dibutuhkan mencapai 18 miliar dosis. 

Mengacu pada kajian WHO, saat ini orang yang benar-benar membutuhkan vaksin karena berisiko tinggi jumlahnya mencapai 1,85 miliar orang atau 24% dari total penduduk bumi. Artinya jumlah vaksin yang dibutuhkan mencapai 4,625 miliar dosis. 

Masalahnya, vaksin yang dikembangkan saat ini selain belum selesai uji klinis juga belum menjadi barang miliki publik. Artinya masih ada tendensi bahwa para pengembang masih ingin meraup untung dari produk yang dikembangkannya. 

Hal ini dikritisi oleh Oxfam yang terus meminta bahwa transfer teknologi harus dilakukan untuk mempercepat produksi vaksin. Pasalnya tidak ada satu pengembang pun yang bisa memenuhi kebutuhan vaksin global. 

Vaksin pun akan tetap menjadi barang langka, kajian yang dilakukan oleh Center for Global Development (CGD) dan Bryden Wood memproyeksikan bahwa untuk memasok 4,265 miliar dosis vaksin butuh waktu kurang lebih 26 bulan. Itu pun tingkat kemungkinannya hanya 75%.

Makin mirisnya lagi, setengah dari pasokan vaksin yang diproyeksikan bakal tersedia sudah dikuasai oleh negara-negara maju. Saat ini negara-negara kaya dengan 13% populasi penduduk global telah mengamankan 51% dari total dosis vaksin yang bisa diproduksi oleh para pengembang.

Kapasitas produksi vaksin yang tercatat saat ini menurut Oxfam bisa mencapai 5,94 miliar dosis. Namun kesepakatan terkait pasokan vaksin sudah mencapai 5,3 miliar dosis.

Sebanyak 2,73 miliar dosis (51%) sudah dipesan oleh negara-negara maju seperti Inggris, AS, Australia, Hong Kong & Macau, Jepang, Swiss, Israel dan Uni Eropa.

Sementara sisanya sebanyak 2.575 miliar dosis telah dibeli oleh atau dijanjikan ke negara-negara berkembang termasuk India, Bangladesh, China, Brasil, Indonesia dan Meksiko.

Pemerintah Inggris telah mengamankan sejumlah dosis vaksin sehingga 1 orang warganya mendapat pasokan 5 dosis vaksin. Jelas ini sangat kontras dengan kondisi di Bangladesh yang sampai sekarang hanya mendapat jatah 1 dosis untuk 9 orang menurut Oxfam.

Dengan jalan yang masih panjang dan ketimpangan ini mustahil sekali kalau perekonomian bakal langsung pulih ke level sebelum pandemi dalam waktu dekat. Ini baru dilihat dari sisi sektor kesehatan saja dan perlu melihat dengan kacamata yang lebih luas lagi.

Sudah hampir satu tahun merebak, wabah Covid-19 belum juga bisa dijinakkan. Bahkan negara-negara barat seperti Inggris, Eropa dan Amerika Serikat sekarang sedang bergelut untuk menghadapi gelombang kedua Covid-19 yang lebih dahsyat. 

Langkah pengetatan seperti lockdown kembali marak. Rebound ekonomi yang terjadi pada kuartal ketiga ternyata tak lebih dari sesuatu yang cenderung semu. Adanya penguncian plus aksi social distancing mandiri membuat sentimen di kalangan konsumen kembali memburuk.

Negara-negara Eropa pun diyakini bakal mengalami fenomena double dip recession atau fenomena kontraksi-pulih-kontraksi ekonomi yang terjadi secara beruntun. 

Meski lockdown jilid II ini tak seketat yang pertama tetap saja dampak ke perekonomiannya tetap terasa. Tahun 2020 memang menjadi sejarah baru bagi umat manusia di muka bumi. Ini adalah resesi terparah yang pernah dialami sejak depresi besar tahun 1929-1930.

Lockdown untuk membendung meledaknya wabah Covid-19 harus dibayar dengan mahal. Kerusakan ekonomi yang nyata terlihat adalah melonjaknya angka pengangguran hingga kemiskinan. 

Fenomena 'The Great Lockdown' tidak hanya membuat permintaan akan barang dan jasa merosot. Namun permintaan terhadap sektor tenaga kerja juga ikut menurun drastis karena pabrik dan perkantoran banyak yang tutup atau bahkan beroperasi dengan kapasitas yang lebih rendah.

Pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK pun melonjak. Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada semester kedua tahun ini jumlah jam kerja yang hilang adalah 1,2% atau setara dengan 34 juta lapangan pekerjaan tetap.

Banyaknya pengangguran membuat kemiskinan juga ikut terkerek naik. Tiga peneliti asal King's College London dan Universitas Nasional Australia memperkirakan jumlah penduduk miskin dunia tahun ini bakal mencapai 1,12 miliar orang atau setara dengan 14,3% dari total populasi global.

Akan ada tambahan 400 juta orang dalam keadaan yang mengalami kemiskinan ekstrem. Artinya jika mengacu pada definisi Bank Dunia, kelompok yang berada di garis kemiskinan ekstrem ini harus hidup di bawah US$ 1,9 per hari atau setara dengan Rp 27.550/hari asumsi kurs Rp 14.500/USS$.

Untuk meredam kejatuhan ekonomi yang lebih parah stimulus jumbo pun digelontorkan oleh para pemangku kebijakan. Di negara-negara maju, suku bunga acuan dipangkas habis-habisan sampai ke zero lower bound

Tak sampai di situ saja, bank sentral global baik di negara maju maupun berkembang kompak menggunakan kebijakan injeksi likuiditas secara masif dengan melakukan pembelian aset-aset keuangan melalui mekanisme yang dikenal dengan quantitative easing.

Di sisi fiskal, pemerintah juga memberikan bantuan kepada masyarakat hingga korporasi lewat stimulus yang nilainya juga terbilang fantastis. Kebijakan fiskal ekspansif pemerintah di tengah penurunan pendapatan dari pajak membuat defisit anggaran membengkak. 

Kebutuhan untuk berhutang menjadi tinggi dan jumlah utang pun meledak. The Institute of International Finance (IIF) memperkirakan total utang global hingga akhir tahun ini mencapai US$ 277 triliun atau setara dengan 342% dari total output perekonomian global. 

Sepanjang vaksin belum didistribusikan secara merata, Covid-19 masih merebak, mobilitas terpantau tetap lengang dan stimulus yang diberikan tidak segera dibelanjakan maka ekonomi akan tetap lesu. 

Berbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia hingga Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia bakal bangkit tahun depan di angka kisaran 4-5%. Namun sebenarnya itu masih banyak diakibatkan oleh low base effect

Fundamental ekonomi masih tetap rapuh, dengan defisit fiskal yang sangat bengkak dan utang yang menggunung, kalau pun ekonomi bisa bangkit tetap saja mempengaruhi kesinambungan (sustainability) dari ekonomi itu sendiri. 

Gelombang utang yang menggulung dunia pada akhirnya hanya akan mempercepat periode boom & bust siklus ekonomi, apalagi ketika pengetatan moneter nantinya akan diterapkan. 

Pada akhirnya apakah vaksin bisa membuat perekonomian pulih, jawabannya bisa. Namun tetap saja butuh waktu tidak hanya berbulan-bulan mungkin tahunan untuk benar-benar mengembalikan ke level sebelum pandemi mengingat kerusakan yang diakibatkan oleh Covid-19 sangatlah parah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular