
Panas! Begini Saling Serang Saudi Vs Iran di Era Raja Salman

Jakarta, CNBC Indonesia - Dinamika hubungan Arab Saudi dan Iran selalu diwarnai oleh berbagai macam ketegangan antara kedua negara. Kedua "rival" di kawasan Timur Tengah itu selalu menuduh satu sama lain sebagai biang keladi kekacauan dan aksi-aksi berdarah.
Terbaru, tuduhan Saudi atas ledakan yang terjadi di Jeddah, yang diyakini negeri dua kota suci itu didalangi oleh Iran.
Semenjak Raja Salman Bin Abdulaziz Al Saud memegang takhta kerajaan pada tahun 2015, Saudi menjadi makin agresif dalam menyerang Iran dengan menyebut Teheran sebagai ancaman besar dunia.
Perseteruan yang panas mulai terjadi pada 2016 lalu saat Saudi memutuskan mengeksekusi mati Ulama Syiah Nimr Al Nimr. Nimr adalah ulama yang aktif dalam mengkritik pemerintahan Salman Al Saud dan merupakan tokoh prominen di Iran.
Keputusan itu dikecam keras oleh Iran, yang diikuti gelombang unjuk rasa besar besaran di Negeri Persia itu yang berujung dengan serangan bom molotov ke Kedutaan Besar Saudi di Teheran dan Konsulat Saudi di Mashhad.
Setelah kejadian itu, Riyadh berang dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Namun, Saudi masih memberikan kesempatan pada warga Iran untuk melaksanakan haji dan umrah ke Mekkah dan Madinah.
Selanjutnya pada 2017, Raja Salman mengundang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Riyadh dan membicarakan masa depan kawasan arab. Dalam pertemuan itu, Raja Salman dan Trump memiliki pandangan yang sama, yaitu ancaman potensial dari Iran yang diprediksi sedang mengembangkan program nuklir.
Beberapa saat setelah pertemuan bersejarah itu Saudi diikuti oleh sekutunya seperti Uni Emirat Arab dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar yang dituduh sedang membangun relasi bisnis dengan Iran di tengah sanksi internasional yang masih berlaku pada negara itu.
Setelah kejadian itu, hubungan Iran dan Saudi makin memanas. Saudi mulai menyerukan pemboikotan terhadap Iran yang menyokong beberapa pasukan pemberontak di negara-negara seperti Yaman dan Suriah. Aksi ini diikuti serangan udara Saudi di Yaman yang diarahkan pada pemberontak Houthi, kelompok pemberontak yang didukung penuh oleh Iran.
Selain itu, pada tahun yang sama Raja Salman pernah meminta Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri untuk mundur dari jabatannya setelah kelompok Hezbollah, sebuah partai politik dan paramiliter, makin menguatkan pengaruhnya di negara itu.
Hezbollah mendapat sokongan penuh dari Iran untuk mengamankan ambisi Teheran untuk menguasai jalur ke Laut Tengah. Namun, saat itu, Hariri menolak untuk mundur dari jabatannya.
Tak cukup dengan agresi, Raja Salman beberapa waktu lalu menyuarakan pengucilan terhadap Iran. Pada sidang tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, September 2020 lalu, Raja Salman menyatakan Iran mengintensifkan aktivitas ekspansionisnya, membuat jaringan teroris dan menggunakan terorisme. Selain itu, Ia menambahkankan ini tidak menghasilkan apa-apa selain kekacauan, ekstremisme, dan sektarianisme.
Pada kejadian bom di Jeddah, Saudi, Rabu (11/11/2020), Riyadh kembali menuduh Houthi, pemberontak Yaman yang di-backup Iran, sebagai sutradara dari aksi kekerasan itu. Raja Salman menuduh Iran sebagai dalang terorisme untuk mendapatkan senjata pemusnah massal.
"Kerajaan menekankan bahaya proyek regional Iran, campur tangannya di negara lain, mendorong terorisme, mengipasi api sektarianisme ... dalam upayanya untuk memiliki senjata pemusnah massal," katanya dalam pidato di Dewan Syura Arab Saudi.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tiba-tiba Raja Salman Beri Peringatan Keras ke Iran, Ada Apa?