Jakarta, CNBC Indonesia - Impor LPG yang terus meningkat setiap tahunnya menjadi bukti bahwa ketahanan energi menjadi permasalahan utama yang harus segera diselesaikan di Tanah Air.
LPG merupakan salah satu bahan bakar yang digunakan di berbagai sektor baik industri, komersial hingga rumah tangga sebagai konsumen terbesarnya. Penggunaan LPG untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga berawal dari program pemerintah 13 tahun silam.
Pada 2007 pemerintah melaksanakan program pengalihan minyak tanah ke LPG. Program tersebut bertujuan untuk mengurangi subsidi minyak tanah yang membengkak akibat harga minyak dunia yang terus meningkat di tengah penipisan cadangan minyak nasional.
Upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi minyak tanah dan mengalihkannya ke LPG dinilai rasional dan didukung oleh semua pihak.
Realisasi program tersebut berupa pembagian paket LPG Tabung 3 Kg yang terdiri dari tabung LPG 3 Kg beserta katup/ valve, termasuk isi perdana dan kompor gas satu tungku beserta aksesorisnya (selang gas dan regulator) secara cuma-cuma kepada rumah tangga dan usaha mikro yang berhak menerima.
Namun seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbilang tinggi saat periode commodity boom, kebutuhan akan energi kian meningkat. Konsumsi LPG setiap tahunnya bertambah. Hanya saja tidak diimbangi dengan pasokan dalam negeri yang mencukupi.
Alhasil, RI juga harus mengimpor LPG yang juga merupakan produk hasil minyak dari luar negeri. Dalam sepuluh tahun terakhir, terhitung sejak 2009-2019, konsumsi LPG Indonesia tumbuh 10,5% per tahunnya (Compounded Annual Growth Rate/ CAGR) dari yang tadinya hanya 2,86 juta ton menjadi 7,76 juta ton.
Pada periode yang sama, produksi LPG justru mengalami penurunan dengan laju 0,78% per tahun (CAGR) dari 2,12 juta ton menjadi 1,96 juta ton. Sedangkan impornya melesat 19,52% per tahun (CAGR) dari 960 ribu ton menjadi 5,71 juta ton.
Dalam setahun Indonesia bisa mengimpor LPG lebih dari US$ 3 miliar. Artinya, dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$ maka RI harus merogoh kocek sekitar Rp 42 triliun untuk mendatangkan LPG dari luar negeri.
Inilah yang menjadi penyebab tekornya neraca dagang migas RI. Konsekuensi lanjutannya adalah bengkaknya transaksi berjalan yang memicu depresiasi nilai tukar rupiah terhadap greenback.
Di sisi lain, LPG merupakan salah satu bahan bakar yang disubsidi oleh pemerintah. Angka subsidi LPG dari APBN juga terus membengkak. Bahkan pada 2018 pemerintah menggelontorkan Rp 64 triliun untuk subsidi LPG.
Prospek permintaan LPG di dalam negeri ke depannya bakal terus meningkat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun memproyeksikan bahwa impor juga akan terus terkerek naik.
Dalam kurun waktu empat tahun ke depan, konsumsi LPG nasional diproyeksikan bakal menyentuh angka nyaris 12 juta ton, meningkat hampir 36% dari tahun ini. Impor juga akan melonjak menjadi 10,01 juta ton atau meningkat 46,3% dibanding 2020.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, rasio impor LPG terhadap kebutuhan LPG dalam negeri malah meningkat menjadi 83,55% pada 2024 dari 2020 ini sebesar 77,63%.
Hal ini akan terus terjadi dan berlarut-larut jika akar masalahnya tak segera dicabut. Permasalahan penurunan produksi ini harus ditinjau, baik dari aspek hulu maupun hilir migas.
Di sektor hulu, lifting migas juga terus tergerus seiring dengan produktivitas sumur yang menurun akibat sudah menua dan aktivitas eksplorasi yang terus melambat. Di sektor hilir, pemerintah perlu untuk meningkatkan kapasitas kilang agar impor produk migas bisa segera ditekan.
Saat ini pemerintah terus berupaya untuk mendongkrak berbagai cara agar produksi migas bisa meningkat, baik melalui aktivitas eksplorasi, maupun enhanced oil recovery (EOR). Sementara bersama Pertamina, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kapasitas kilang dengan cara peremajaan maupun membangun kilang baru (grassroot).
Untuk kasus LPG, pemerintah juga mencoba mendiversifikasi sumber bahan bakar melalui proyek hilirisasi batu bara.
Seperti diketahui, salah satu perusahaan yang kini berencana mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME yaitu PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dengan mengolah batu bara sebanyak 6 juta ton per tahun dan diproses menjadi 1,4 juta ton DME yang dapat digunakan sebagai substitusi LPG.
Proyek senilai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 30,45 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) ini rencananya akan mulai dibangun pada kuartal pertama atau kedua 2021. Proyek ini ditargetkan dapat mulai beroperasi pada triwulan kedua 2024.
Hadirnya DME sebagai bahan bakar alternatif bisa membantu menekan impor LPG dan menghemat devisa negara. Berdasar hitungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, potensi penghematan negara dari proyek gasifikasi batu bara PTBA ini bisa mencapai Rp 8,7 triliun per tahun.
Namun, di tengah merebaknya pandemi Covid-19 dan isu resesi saat ini, harga-harga komoditas yang anjlok juga turut mempengaruhi keberlangsungan berbagai proyek hilirisasi sektor energi nasional.
Dengan demikian, ini menjadi PR besar pemerintah meski berbagai pelonggaran aturan, terutama untuk investasi agar lebih menarik minat para pemilik modal, sudah agresif dilakukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA