Indonesia Resmi Resesi & Fakta Seram yang Dialami Masyarakat

Herdaru, CNBC Indonesia
06 November 2020 15:23
Pasar Tanah Abang (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia resmi masuk negara yang mengalami resesi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) minus 3,49% secara tahunan (yoy).

Kontraksi PDB dua kuartal berturut-turut secara tahunan membuat Indonesia resmi menyandang status resesi untuk kali pertama sejak 1999 atau 21 tahun silam.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, meyakini ekonomi Indonesia sudah menyentuh titik nadir. Kondisi terburuk sudah dilalui, sehingga ke depan adalah saatnya untuk bangkit.

"Posisi terburuk akibat Covid-19 sudah kita lewati. Upaya pemulihan akan terus diakselerasi sehingga akan terus didorong ke zona positif pada triwulan IV-2020 dan 2021," tegasnya dalam jumpa pers secara virtual di Jakarta, Kamis kemarin.



Akan tetapi, Sri Mulyani menggambarkan berbagai perbaikan yang sudah terlihat pada kuartal III-2020. Artinya, ke depan yang ada adalah pemulihan.

"Pada triwulan III-2020 the worst is over. Dampak buruk dari Covid-19 pada triwulan II sudah kita lewati dan kita dalam tahap pemulihan," tuturnya.

Dampak Resesi ke Masyarakat >> NEXT

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan dampak terburuk dari resesi adalah adanya PHK massal.

Bhima merinci Indonesia telah mengalami 3 gelombang PHK tahun ini.

Gelombang PHK pertama terjadi pada waktu PSBB pertama, di mana sektor pariwisata, perhotelan, dan restoran terdampak. Kemudian, di Gelombang PHK kedua menyampu sektor industri manufaktur dan retail pada pertengahan Juni-Juli 2020.

"Nah gelombang ketiga PHK ini akan merata di hampir semua sektor, termasuk perdagangan, transportasi, dan bisnis properti," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia.

Selain adanya gelombang PHK masal, angka kemiskinan juga bisa naik tajam karena masyarakat rentan miskin sedikit persediaan cashnya. Mau di sektor usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM) pun, kata Bhima masyarakat akan sulit. Karena perkantoran akan tutup, omset pasti akan menurun.

Menurut Bhima bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan ini harus diantisipasi, agar tidak mengulang kasus 1998. Bantuan pemerintah sebaiknya langsung dipercepat penyalurannya.




Bhima juga menyarankan, realisasi stimulus macet seperti subsidi bunga dialihkan ke bantuan langsung tunai (BLT) penuh, karena masih banyak pekerja informal belum tersentuh bantuan.

"Program Kartu Pra Kerja itu dibongkar total dirubah BLT untuk pengangguran. Jangan dikasih training dulu, ini situasi mendesak pengangguran harus di beri subsidi juga yang jumlahnya bahkan lebih besar dari subsidi upah pekerja formal," jelas Bhima.

Selain itu, Bhima mengatakan angkatan kerja baru makin sulit bersaing karena lowongan kerja menurun. Sementara itu, perusahaan kalaupun lakukan rekruitment akan prioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman.

"Masyarakat cenderung berhemat untuk membeli barang sekunder dan tersier. Fokus hanya pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan," paparnya. Ia juga menekankan dampak lainnya, yakni meningkatnya konflik sosial di masyarakat karena ketimpangan semakin lebar. "Orang kaya bisa tetap survive selain karena aset masih cukup juga karena digitalisasi. Sementara kelas menengah rentan miskin tidak semua dapat melakukan WFH, disaat yang bersamaan pendapatan menurun," ungkapnya.


(dru) Next Article Ramalan & Skenario Ekonomi RI Tumbuh 5% di 2021, Percaya??

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular