
Duh! Impor Minyak RI Bakal Meroket Jika Tak Lakukan Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski transisi energi dari energi berbasis fosil ke energi baru terbarukan (EBT) terus digencarkan, namun ini bukan berarti serta merta akan menurunkan konsumsi energi fosil di dalam negeri secara signifikan dalam waktu cepat.
Wakil Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fatar Yani berpendapat bahwa penggunaan energi fosil dalam 50-100 tahun ke depan masih dibutuhkan. Begitu pun dengan Indonesia, di mana saat ini posisinya masih sebagai negara pengimpor minyak, ditambah lagi produksi minyak bumi dalam negeri yang terus menurun selama lima tahun terakhir ini.
"Memang ada EBT, tapi tidak bisa cepat untuk menggantikan energi fosil seperti minyak," ungkapnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu (04/11/2020).
Menurutnya, Indonesia perlu melakukan transformasi untuk masa depan hulu migas yang lebih baik. Jika tidak dilakukan sekarang, imbuhnya, dalam 10-20 tahun lagi diperkirakan impor hidrokarbon negeri ini akan jauh lebih banyak.
Tantangan ini menurutnya cukup berat, apalagi karena target lifting minyak dalam APBN 2020 juga tidak tercapai, sehingga perlu dilakukan perubahan target.
"Tapi tidak sejelek yang kita bayangkan. Kalau melihat kondisi global, produksi minyak bisa turun sampai 15%-25%, kita masih bisa turun tidak lebih dari 10%. Artinya, usaha di dalam negeri dengan perubahan fiskal memberikan stimulus untuk tetap beroperasi dan menghasilkan hidrokarbon," jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, terkait kondisi harga minyak ke depan, tidak ada satu orang pun yang bisa memprediksikannya. Namun kondisi ini bisa disikapi dengan bekerja dan insentif fiskal. Seperti diketahui, Indonesia menganut sistem kontrak migas bagi hasil (Production Sharing Contract/ PSC) dengan skema Gross Split dan Cost Recovery.
"Tentunya itu dibutuhkan usaha yang cukup besar dari stakeholder atau pemangku kepentingan. Kemudian, mempercepat discovery itulah yang kita harapkan agar bisa membuka ke dunia luar," ungkapnya.
Untuk mewujudkan hal itu, menurutnya diperlukan kolaborasi dengan semua pemangku kepentingan, tidak hanya SKK Migas.
"Bapak Presiden sendiri mencanangkan extra ordinary. Kita yakin 5-10 tahun ke depan dengan Rencana Strategi (renstra) yang dibuat, jika berjalan dengan mulus, maka target produksi minyak 1 juta barel per hari dan 12 miliar kaki kubik gas per hari (BSCFD) bisa tercapai," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berisiko Tinggi Alami Tumpahan Minyak dari Kegiatan Migas
