IMF: Krisis Belum Selesai!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 November 2020 15:02
Penumpang KRL di Stasiun Manggarai (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Penumpang KRL di Stasiun Manggarai (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memang penuh misteri. Di satu titik, kita merasa sudah mampu mengendalikan penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. Namun pada waktu yang lain, ternyata kita salah besar.

Ini yang terjadi sekarang. Pada pertengahan tahun sepertinya penyebaran virus corona sudah melandai, mencapai puncak, sehingga banyak negara di dunia mulai melonggarkan pembatasan sosial (social distancing). Reopening alias pembukaan kembali 'keran' aktivitas publik menjadi tren global.

Namun seiring peningkatan kontak dan interaksi antar-manusia akibat pelonggaran social distancing, virus corona lebih mudah menyebar (karena memang belum ada penangkalnya). Hasilnya, sejumlah negara dilanda apa yang disebut sebagai gelombang serangan kedua (second wave outbreak).

Akibatnya, social distancing yang sempat longgar kembali ketat. Negara-negara Eropa seperti Jerman, Prancis, Spanyol, hingga Inggris lagi-lagi menerapkan karantina wilayah (lockdown) berskala nasional.

Krisis kali ini memang ujung pangkalnya adalah kesehatan. Jadi kesehatan adalah panglima, kudu jadi prioritas.

Saat kesehatan jadi prioritas, maka bidang lain harus mengalah termasuk ekonomi. Lockdown tidak lain dan tidak bukan adalah 'menyuntik mati' aktivitas ekonomi karena warga dianjurkan untuk sebisa mungkin #dirumahaja. Mobilitas warga ditekan, sehingga praktis roda ekonomi tidak berputar.

Oleh karena itu, hawa pemulihan ekonomi yang terjadi pada kuartal III-2020 agak memudar saat memasuki kuartal IV-2020. Berdasarkan survei Reuters yang dihelat pada 6-27 Oktober terhadap para ekonom dan analis di 46 negara, 63% di antaranya menyatakan kembalinya teror virus corona bakal menghentikan tren pemulihan ekonomi sampai akhir tahun ini.

coronaSumber: Reuters

"Bahkan sebelum kembali diterapkannya lockdown, sudah ada persepsi luas bahwa banyak negara akan membukukan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Peningkatan angka pengangguran dan utang menyebabkan ketimpangan dan instabilitas keuangan," kata Janet Henry, Global Chief Economist HSBC.

"Bagi banyak negara, rasanya seperti roller coaster. Dari penyangkalan pada kuartal I ke lockdown pada kuartal III dan kebangkitan pada kuartal III. Sayangnya, kuartal IV lagi-lagi diwarnai oleh lonjakan penyebaran virus corona," tambah Stefan Koopman, Senior Market Economist Rabobank.

Salah satu cerminan kemunduran ekonomi adalah penjualan mobil. Setelah membaik pada September, penjualan kereta besi di berbagai negara kembali anjlok pada bulan sesudahnya.

Penjualan mobil merupakan salah satu indikator kesehatan ekonomi. Sebab, mobil adalah kebutuhan sekunder, bahkan tersier. Saat penjualan mobil naik artinya masyarakat punya uang lebih, daya belinya kuat. Sebaliknya ketika turun, tandanya daya beli sedang nyungsep.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan sejumlah resep untuk membuat ekonomi bertahan hidup di tengah berbagai keterbatasan yang ada saat ini. Pertama, pemerintah jangan sekali-sekali kendur dalam menggelontorkan bantuan. Pencabutan stimulus fiskal secara prematur akan menyebabkan banyak lapangan pekerjaan hilang dan kebangkrutan di mana-mana.

"Buat negara yang punya kapasitas, jangan mengetatkan kebijakan fiskalterlalu dini. Pastikan ada kelanjutan dukungan bagi kesehatan, rumah tangga, dan dunia usaha. Bagi negara yang dirundung keterbatasan, geser prioritas ke arah perlindungan bagi masyarakat yang paling rentan," sebut makalah IMF yang disusun oleh Oya Celasun (Head of Multilateral Surveillance Division), Lone Christiansen (Deputy Division Chief Multilateral Surveillance Division), dan Margaux MacDonald (Economist Multilateral Surveillance Division) itu.

Kedua, kita semua harus sadar bahwa dunia akan berubah drastis usai pandemi berakhir. Akan banyak keahlian baru yang bakal dibutuhkan di dunia kerja, sementara beberapa lapangan kerja justru kemungkinan punah. Oleh karena itu, semua orang harus punya kesiapan untuk menghadapi dunia yang baru.

"Jalan menuju pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, seimbang, dan inklusif masih panjang dan sulit. Sekarang, yang bisa kita lakukan adalah berbelanja dengan bijak," lanjut makalah berjudul The Crisis is Not Over, Keep Spending (Wisely) tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular