Analisis

Ekonomi AS Lompat 33%, tapi Jangan Senang Dulu!

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
29 October 2020 20:53
Whole Foods Market
Foto: CNBC

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh 33,1% secara tahunan pada kuartal III-2020, membalik posisi kuartal sebelumnya yang minus 31%. Kelihatan kinclong, tapi jangan keburu senang dulu!

Berdasarkan pembacaan awal Departemen Perdagangan AS, Produk Domestik Bruto (PDB)-yang mengukur jumlah barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara-AS pada Juli-September bertambah 33,1% menjadi US$ 21,7 triliun.

Angka ini berbalik dari posisi sebelumnya yang anjlok hingga 31,4%, dan juga terhitung lebih baik atau melampaui ekspektasi ekonom dalam survei Dow Jones yang hanya memperkirakan angka 32%.

qSumber: CNBC

Belanja masyarakat membal ke atas sebesar 40,7%, investasi swasta juga melesat 83%, dan pasar perumahan mencatatkan kenaikan permintaan di tengah pandemi sebesar 59,3%. Suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang kini di level terendah sepanjang masa menjadi pemicunya.

Namun apakah berarti perekonomian AS telah kembali normal dan situasi sudah membaik? Tentu saja tidak. Kenaikan sebesar 30% itu terjadi setelah sebelumnya anjlok 30%. Artinya, posisi sekarang baru mendekati titik impas. Belum impas.

Jika ukuran produk domestik bruto AS adalah US$ 20 triliun, maka koreksi 30% berarti ukuran PDB AS pada kuartal kedua kemarin mengerut menjadi US$ 14 triliun, alias US$ 6 triliun. Nah, ketika ekonomi AS kembali menguat 30%, maka nilai PDB AS pada kuartal ketiga kemarin menjadi US$ 18,2 triliun, alias belum kembali ke titik mula.

Jika kita menarik pelajaran dari krisis keuangan sebelumnya yakni pada era subrime mortgage loan tahun 2009, Saat itu, pertumbuhan ekonomi AS mengkerut sebesar 3% dan perlu bertahun-tahun untuk kembali normal.

Di sisi lain, akar persoalan krisis pandemi yakni virus corona masih belum menunjukkan titik terang, karena kandidat vaksin belum juga membuahkan hail nyata untuk penggunaan skala global. Virus Covid-19 telah merenggut 228.000 nyawa di AS, dan menginfeksi 9 juta orang-setara dengan 90% populasi di DKI Jakarta.

Selama belum ada vaksin atau obat Corona, maka selama itu pula kebijakan pembatasan sosial hingga karantina wilayah (lockdown) terus berjalan, mengganggu roda perekonomian dan proses rantai pasokan barang-jasa.

Lalu, jangan lupa bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut adalah berkah dari "rekayasa kebijakan makro" pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Sebagaimana kita ketahui, saat ini semua negara berlomba menyintukkan stimulus untuk memompa perekonomian.

Di Negara Adidaya, konsumsi masyarakat merupakan penyumbang utama PDB dengan kontribusi hingga 70%. Jika konsumsi masyarakat anjlok, maka anjlok pula lah perekonomian mereka.

Nah, kita tentu masih ingat dengan stimulus berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar US$ 1.200 per kepala keluarga AS sejak Juli lalu, serta subsidi untuk perusahan swasta agar tetap memperkerjakan karyawannya, demikian juga tunjangan pengangguran.

Itulah yang menjadi pendorong pertumbuhn konsumsi, di atas kertas. Stimulus tersebut kini sudah habis masa berlakunya, sudah tiris. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) jauh-jauh hari telah mengingatkan pemulihan ekonomi lanjutan hanya terjadi jika stimulus kedua cair.

Jika tidak ada stimulus lanjutan, maka rekayasa pertumbuhan konsumsi masyarakat tersebut bakal hilang, dan tampaklah kondisi perekonomian sebenarnya. Tak ada lagi stimulus, maka terganggulah laju konsumsi.

Tanpa stimulus, lubang-lubang dalam ekonomi AS akan menganga. Lubang pertama berasal dalam sumber pemasukan masyarakat AS, yakni 22 juta lapangan kerja, yang tercatat hilang per Maret akibat pandemi. Lubang kedua berupa angka pengangguran yang masih mencapai 7,9% atau nyaris dua kali lipat dari tingkat pengangguran sebelum pandemi.

Lubang ketiga berasal dari kian tipis "dana jaga-jaga" masyarakat AS guna menghadapi situasi yang berat. Ini terindikasi dari dana tabungan masyarakat di perbankan AS yang ddi level 15,8%, atau anjlok dari posisi kuartal II-2020 sebesar 25,7%.

Sejauh ini, sayangnya, stimulus tahap kedua masih alot jadi perdebatan politik antara Gedung Putih dan Partai Demokrat selaku oposisi. Jika ini berlarut-larut, maka kontraksi ekonomi bakal terlihat kembali pada kuartal keempat tahun ini.

Jika ekonomi AS anjlok lagi, maka ekonomi dunia tinggal menunggu hari untuk mengikuti. Jadi, ada baiknya kita ikut memantau laga Trump versus Joe Biden, meski tak ikut memilih. Siapa yang menang, maka nasib stimulus bakal berada di tangan dia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular