
Subholding Pertamina Dikritik, Ini Saran Pakar Hukum Yusril

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi anak usaha dengan membentuk beberapa subholding. Akan tetapi, subholding yang dibentuk Pertamina menuai sejumlah kritik. Melihat kondisi ini, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra pun turut memberikan saran.
Menurutnya, agar tidak ada kepentingan luar yang masuk di dalamnya, tim harus berpikir secara detail. Tujuannya yaitu agar tidak ada sesuatu yang dilanggar dan tidak ada konflik di dalamnya. Yusril pun mengatakan langkah pembentukan subholding yang menjadi langkah untuk restrukturisasi pasti menimbulkan pro dan kontra.
"Saya kira memang tim harus berpikir detail membahas pengalihan aset supaya tidak ada kepentingan, tidak ada yang dilanggar dan tidak ada konflik di dalam. Langkah subholding, langkah restukrusisasi pasti ada pro dan kontra," ungkapnya dalam acara webinar 'Sub Holding Pertamina Melanggar Hukum?' yang digelar oleh Ruang Energi, Kamis (22/10/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa proses restrukturisasi dalam kebijakan holding dan subholding Pertamina masih belum final, sehingga adanya gugatan atas pembentukan subholding ini adalah hal prematur.
"Menurut saya ini belum final, sehingga bila di pengadilan ada gugatan ini, menurut saya masih prematur," kata Yusril.
Yusril menjelaskan di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) disebutkan bahwa restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan.
"Pertamina sama seperti PT Timah zaman dahulu, perusahaannya itu terintegrasi, jadi perusahaannya sangat besar. Nah sekarang ini kita berpikir untuk lebih baik jauh ke depan," paparnya.
Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengibaratkan Pertamina itu adalah kapal yang besar dan kuat, sehingga tidak bisa fleksibel bergerak. Untuk memudahkan pergerakan, maka organisasi dipecah menjadi beberapa subholding.
"Apakah melanggar UU? ini perlu kita pikirkan, kita kasih contoh tantangan ke depan. Ke depan, yang namanya bisnis fosil akan ditinggalkan, energi fosil akan ditinggalkan," jelasnya.
Arya mengatakan bahwa bisnis perseroan ke depan diperkirakan akan masuk ke dalam bisnis baterai. Dengan perubahan penggunaan energi ke depan, menurutnya akan ada perubahan pandangan. Misalnya saja, lanjutnya, kaitan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menyebut bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Ke depan, makna dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut bisa saja berpindah ke industri hilir yang menggunakan sumber daya alam dan mineral dalam negeri, bukan hanya memanfaatkan sumber energi fosil.
"UUD Pasal 33, ke depan bisa dikatakan fosil bukan lagi sesuatu yang vital, tapi malah baterai yang menjadi vital ke depannya," tuturnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Subholding Pertamina Langgar UU? Ini Tanggapan Stafsus Erick
