
Sempat Beri 'Warning', Bank Dunia Kini Puji UU Cipta Kerja

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia (World Bank) memberi pernyataan resmi soal pengesahan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Lembaga ini menyebut UU merupakan upaya reformasi untuk menjadikan Indonesia lebih kompetitif dalam jangka panjang. Sebelumnya Bank Dunia sempat memberikan warning terkait keberadaan UU tersebut.
"UU ini dapat mendukung pemulihan ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang yang tangguh di Indonesia," kata Bank Dunia dalam siaran persnya, Jumat (16/10/2020).
Menurut lembaga yang dipimpin oleh David Malpass itu, UU Ciptaker telah menghapus berbagai pembatasan besar pada investasi. Ini memberikan sinyal bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis.
"Hal ini dapat membantu menarik investor, menciptakan lapangan kerja, dan membantu Indonesia memerangi kemiskinan," ujar Bank Dunia.
Meski begitu, Bank Dunia menyoroti Implementasi dari UU Ciptaker secara konsisten. Selain itu diperlukan peraturan pelaksanaan untuk memastikan aturan ini.
UU Ciptaker disahkan 5 Oktober lalu. Buruh dan mahasiswa sempat berdemo menolak UU ini, akibat dianggap menguntungkan pengusaha.
Sebelumnya, dalam laporan "PROSPEK PEREKONOMIAN INDONESIA" Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi Juli 2020 tersirat dua hal. Yakni, positifnya dari keberadaan Omnibus Law Cipta Kerja namun jangan kesampingkan juga hal negatifnya.
Dalam laporan setebal 88 halaman tersebut, CNBC Indonesia, Jumat (9/10/2020) merangkumnya kembali. Berikut hal negatif yang menjadi catatan Bank Dunia. Menurut Bank Dunia RUU ini juga mengusulkan reformasi yang dapat mengakibatkan dampak buruk, terutama dalam lingkungan ekonomi saat ini. Misalnya, usulan di dalam RUU ini mengenai relaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan hidup akan merusak kekayaan sumber daya alam yang sangat penting bagi mata pencaharian banyak orang dan dapat berdampak negatif terhadap investasi.
Upaya Pemerintah di bidang ini ditargetkan untuk mengurangi penundaan. Namun demikian, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian untuk mendapatkan izin lingkungan hidup adalah proses yang rumit dan pelaksanaannya yang sewenang-wenang dan korup, daripada perlindungan yang termaktub di dalam Undang-Undang Lingkungan hidup (2009).
Selain itu, RUU ini menghapus prinsip keselamatan dari beberapa undang-undang yang mengatur perizinan kegiatan dan produk-produk yang berisiko tinggi, seperti obat-obatan, rumah sakit, dan konstruksi bangunan, dan tidak lagi menganggapnya sebagai risiko yang tinggi. Selanjutnya, beberapa revisi di dalam RUU ini yang diusulkan untuk UU Ketenagakerjaan dapat mengurangi perlindungan bagi para pekerja.
Usulan pembebasan dari kepatuhan terhadap upah minimum yang meluas dan reformasi untuk menghapuskan pembayaran pesangon tanpa adanya usulan yang sepenuhnya disempurnakan untuk tunjangan pengangguran yang efektif dan skema asuransi, dapat melemahkan perlindungan bagi para pekerja dan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
Ini khususnya bermasalah pada saat pengangguran meningkat karena krisis COVID-19. Pada saat yang sama, reformasi undang-undang ketenagakerjaan kurang penting dibandingkan reformasi perdagangan dan investasi untuk merangsang investasi baru.
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terbaru lainnya, dari pertambangan hingga pertanian, juga berisiko menimbulkan dampak negatif limpahan aktivitas ekonomi (spillover) bagi masyarakat.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Berat... Pemulihan Ekonomi RI Tak akan Merata di 2021
