Saat Trump Terpilih Lagi Jadi Presiden AS, Ini Dampakn ke RI

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
15 October 2020 18:39
With two bandages on his hand, President Donald Trump gestures while speaking from the Blue Room Balcony of the White House to a crowd of supporters, Saturday, Oct. 10, 2020, in Washington. (AP Photo/Alex Brandon)
Foto: Bebas dari Corona Donald Trump Kembali Kampanye (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan empat tahunan Presiden Amerika Serikat yang digelar 3 November mendatang, menjadi ajang pertempuran bagi Presiden Donald Trump yang merupakan calon presiden (capres) petahana dari kubu Republik dengan lawannya yakni capres Demokrat, Joe Biden.

Sejumlah ekonom meyakini, ekonomi global tidak akan membaik jika Donald Trump yang kembali terpilih menjadi Presiden AS. Hal ini tentu juga akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Department Head of Macroeconomic & Financial Market Research Bank Mandiri, Dian Ayu Yusnita mengatakan, jika Donald Trump kembali terpilih menjadi presiden, maka ada dua hal ketegangan yang akan terjadi, yakni kepada transaksi perdagangan dan investasi.

Dampak langsungnya, kata Dian akan terasa pertama kali di pasar keuangan. Pasalnya, jika Trump kembali menjabat sebagai presiden, maka kemungkinan Trump akan melanjutkan eskalasi pengetatan perdagangannya dengan China. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dollar akan melemah.

"Perang dagang intensified, maka nilai tukar rupiah akan melemah karena adanya capital outflow. Pelaku pasar rata-rata merasa khawatir," jelas Dian dalam sebuah webinar, Kamis (15/10/2020).

"Terhadap ekonomi makro volume perdagangan terganggu, baik mitra dagang China termasuk kita [Indonesia] dan Amerika Serikat, karena AS dan China dua-duanya ekonominya berpengaruh ke Indonesia," kata Dian melanjutkan.

Selain itu, apabila Trump kembali menjadi Presiden AS juga akan menghambat aliran investasi. Karena dampak perang dagang, akan lebih menjadi negatif ke seluruh lini perekonomian.

Oleh karena itu, menurut Dian, Indonesia sudah mulai harus memetakan dan memperluas jangkauan pasar ekspor dan impor, kepada negara-negara yang sebelumnya tidak pernah terjangkau.

"Apabila Donald Trump tetap terpilih dan berlanjut, ya kita harus bisa menyikapi, kalau biasanya ke China, kita harus ekspor negara-negara lain yang belum pernah kita cover. Begitu juga impornya," tutur Dian.

Senada juga disampaikan oleh Akademisi Universitas Indonesia Oskar Vitriano, apabila Trump tetap menjadi Presiden AS untuk empat tahun mendatang, maka perang dagang antara AS-China masih terus berlanjut.

Apabila volume perdagangan AS-China menurun karena perang dagang, maka kemungkinan ekspor bahan baku Indonesia ke China menurun sangat signifikan. Karena di masa pandemi saat ini, aktivitas ekspor bahan baku ke China pun sudah menurun. Justru akan semakin parah ketika perang dagang AS-China terus berlanjut.

"Kalau masih Donald Trump lagi kebijakannya akan sama. Sehingga perang dagang lagi, dan kita terkena imbasnya. Perlu dikuatkan adalah perlu membuka pasar-pasar domestik yang baru dan pasar ekspor," jelas Oskar dalam kesempatan yang sama.

Jalur perdagangan domestik di Indonesia sendiri, menurut Oskar masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Para pengusaha mesti jelih melihat pasar-pasar domestik di luar Jawa dan Sumatera.

"Masih banyak pasar-pasar yang mungkin bisa diraih, Kalimantan, Sulawesi. Ini saja yang kita kuatkan hub. Perbesar market di wilayah Indonesia dan mencari partner yang baru di luar negeri," jelas Oskar.

Seperti diketahui, Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump saat ini telah mengubah kebijakan perdagangannya dengan mengeluarkan beberapa negara dari daftar negara berkembang, termasuk China, India, dan Afrika Selatan.

Pemerintah AS mempersempit daftar internalnya terkait negara-negara yang masuk kategori developing dan least-developed untuk menurunkan batasan syarat suatu negara bisa diinvestigasi karena mengganggu industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil. Hal ini diketahui berdasarkan pemberitahuan dari Kantor Perwakilan Dagang AS.

Kebijakan Negeri Paman Sam tersebut mencabut preferensi khusus ke beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain Indonesia, negara berkembang lain yang terkena pencabutan preferensi khusus yaitu Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, China, Colombia, Costa Rica, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, Kirgizstan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Macedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.

The US Trade Representative (USTR) menyatakan keputusan tersebut bertujuan untuk memperbarui pedoman investigasi perdagangan karena panduan sebelumnya, yang berlaku mulai 1998, dinilai sudah usang.


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tentang Donald Trump, Penjara dan Hukuman Mati Menantinya....

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular