Turun-Naik-Turun-Naik Ekonomi RI Bakal Seperti Huruf 'W'?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
13 October 2020 15:38
Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri  (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)
Foto: Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah mengizinkan untuk membuka aktivitas perekonomian di beberapa sektor seperti industri manufaktur sejak Juni 2020 lalu. Kenyataannya, pembukaan aktivitas ekonomi tersebut tidak berdampak signifikan terhadap pemulihan ekonomi di Indonesia ke depannya.

Ekonom Senior Chatib Basri menjelaskan, dari sejumlah indikator seperti Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK). Di mana PMI manufaktur tercatat sebesar 45,3 pada Maret 2020, yang kemudian turun tajam pada April 2020 yakni 27,5, dan Mei 2020 28,6.

Kemudian, sejalan dengan pelonggaran pembatasan sosial (PSBB), indeks PMI kembali meningkat menjadi 39,1 pada Juni 2020 dan 46,9 pada Juli 2020. Pada Agustus 2020, posisinya kembali membaik yakni pada posisi 50,8, namun berkurang lagi pada September menjadi 47,2.

"Dari data PMI, Agustus naik. Artinya ekspansi produksi mulai terjadi. Tapi September drop lagi mungkin karena PSBB," jelas Chatib dalam diskusi virtual, Selasa (13/10/2020).

M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari SaputraFoto: M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari Saputra
M Chatib basri Foto: Detikcom/ Ari Saputra



"Kalau indikator ini benar, artinya benar ekonomi kita rebound (balik arah menguat), tapi dia short-lived (jangka pendek). Jadi, mungkin pemulihan ekonominya tidak bisa bentuk huruf V, maka kemungkinannya apakah di huruf L, U, W apa seperti lambang Nike, turun kemudian naik tapi lambat," kata Chatib melanjutkan.

Menurut Chatib ada empat alasan mengapa pemulihan ekonomi usai pembukaan aktivitas ekonomi hanya berdampak sementara.

Pertama, daya beli masyarakat masih lesi karena covid-19. Geliat daya beli memang terlihat saat saat pembukaan aktivitas ekonomi pada Juni, tapi menurut Chatib kondisi itu sebagai permintaan yang sifatnya tertunda.

Kedua, ia menduga terjadi perubahan perilaku konsumen Khususnya pada kelompok ekonomi menengah ke atas, karena lebih berhati-hati bahkan cenderung menahan konsumsi.

Ketiga, konsumen mulai beralih kepada belanja online. Namun, porsi belanja online ini masih kecil dan hanya terjadi di kota besar. Keempat, aturan sejumlah pemerintah daerah yang masih memberlakukan PSBB seperti DKI Jakarta.

Di sisi lain, apabila perusahaan tidak bisa beroperasi 100%, maka akan memicu perusahaan layaknya perusahaan zombie atau zombie companies. Dalam artian, perusahaan tetap beroperasi, tapi hanya untuk menutupi biaya operasional.

"Itu yang saya sebut ada risiko dalam kondisi ini, kalau skala ekonomis tidak tercapai, perusahaan itu menjadi zombie companies. Dia bisa jalan karena bisa cover variabel cost (biaya operasional), tapi dia tidak bisa cover fixed cost (biaya tetap)," ucapnya.

Misalnya, restoran hanya beroperasi 50%, pendapatannya pun dipastikan tidak akan maksimal. Tapi, restoran tersebut masih harus membayar biaya sewa tetap 100% sebagai variabel biaya tetap.

Kondisi itu lah, yang menurut Chatib membuat sejumlah perusahaan menahan ekspansinya. Pelaku usaha menilai kondisi saat ini masih dipenuhi ketidakpastian.

"Studi yang saya lakukan memperlihatkan, meskipun kapasitas pasar masih tinggi orang tidak akan ekspansi, ya ngapain juga tambah investasi baru kalau investasi yang ada itu under utilize," ucapnya.


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nah Lho, Banyak Orang Kaya RI Prediksi Krisis Bakal Lama

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular