Pengusaha Smelter: Kami Tak Menolak HPM, Tapi Beri Kami Napas

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
13 October 2020 14:02
Cover Fokus, kecil, thumbnail, luar, tambang, nikel
Foto: Cover Topik/Tambang Nikel/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha smelter nikel akhirnya angkat suara terkait kisruh Harga Patokan Mineral (HPM) nikel yang dianggap belum dipatuhi oleh para pelaku industri smelter dalam negeri.

CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus mengatakan pihaknya tidak menolak adanya aturan HPM nikel ini. Namun demikian, pihaknya meminta agar kenaikan harga beli bijih nikel dari dalam negeri ini tidak langsung naik US$ 10 per metrik ton. Menurutnya, kenaikan sebesar itu membebankan perusahaan.

"Kami bukan tidak setuju HPM, kami tidak menolak HPM. Tapi berilah kami napas, sehingga kenaikan tidak sekaligus US$ 10 per metrik ton, mungkin US$ 2,3 atau 5 per ton terlebih dahulu," tuturnya dalam sebuah diskusi tentang nikel secara virtual pada Selasa (13/10/2020).

Dia mengatakan, bila kenaikan harga bijih nikel langsung US$ 10 per ton, ditambah dengan biaya anti dumping dari negara pembeli, maka ini cukup membebankan perusahaan.

"Nanti kita evaluasi, sehingga beban anti dumping dan beban input ini bisa kami bawa," ujarnya.

Dia mengatakan, harapannya ini juga mewakili perusahaan smelter nikel lainnya yang tergabung dalam Forum Industri Nikel Indonesia. Anggota forum ini menurutnya terdiri dari 25 perusahaan smelter.

Dikutip dari situs IMIP, di kawasan industri Morowali ini terdapat beberapa fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel hingga menjadi stainlees steel maupun carbon steel. Beberapa perusahaan yang membangun smelter di lokasi ini antara lain PT Sulawesi Mining Investment yang memproduksi 1 juta ton stainless steel slab per tahun dan memiliki kapasitas smelter Nickel Pig Iron (NPI) 300 ribu ton per tahun.

Lalu, ada PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry yang memiliki kapasitas smelter NPI 600 ribu ton per tahun dan memproduksi stainless steel slab 1 juta ton per tahun.

PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel juga mengoperasikan smelter NPI 600 ribu ton per tahun dan stainless steel slab 1 juta ton per tahun. Selain itu, PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy juga memproduksi 700 ribu ton per tahun stainless steel coil. Kemudian, PT Tsingshan Steel Indonesia memproduksi carbon steel 1 juta ton per tahun dan smelter NPI 500 ribu ton per tahun.

Sebelumnya, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan harga bijih nikel berdasarkan transaksi aktual antara penambang dan pembeli hingga saat ini masih berada di bawah Harga Patokan Mineral (HPM) yang telah ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral setiap bulannya.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan hal ini tidak sejalan dengan aturan pemerintah di mana HPM harus menjadi patokan harga jual beli domestik. Seperti diketahui, pada 14 April 2020 telah diundangkan Peraturan Menteri ESDM No.11 tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu bara.

Regulasi ini menyebutkan bahwa HPM logam merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi. HPM logam ini juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP dan IUPK untuk penjualan bijih nikel. Namun apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam tersebut, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3% dari HPM tersebut.

Berdasarkan informasi yang CNBC Indonesia peroleh, kontrak nikel setelah dibentuknya Satgas HPM yaitu kontrak dengan kadar nikel 1,9% dan 2%. Harga dalam kontrak tersebut sudah sesuai dengan HPM namun dengan sejumlah syarat.

Persyaratan tersebut antara lain adanya penalti kadar nikel, yakni bila kadar nikel yang diterima smelter lebih rendah 0,1% dari kadar yang tertulis dalam kontrak, maka harga akan turun sebesar US$ 7. Begitu juga dengan kandungan air (Moisture Content/ MC) yakni bila MC lebih dari 30%, maka akan dikenakan denda sebesar US% 5 per wet metric ton (wmt).

Dengan demikian, bila awalnya harga terkontrak sebesar US$ 37 per wmt, maka harga aktual yang diterima penambang bisa hanya separuhnya yakni sekitar US$ 15 per wmt.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Curhatan Penambang soal Harga Nikel Masih di Bawah HPM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular